Sabtu 05 Jun 2021 00:15 WIB

8 Gejala Neurologis dan Kejiwaan Covid-19, Apa Saja?

Covid-19 memiliki beragam cara untuk mempengaruhi otak dan kesehatan mental.

Rep: Adysha Citra Ramadani/ Red: Nora Azizah
Covid-19 memiliki beragam cara untuk mempengaruhi otak dan kesehatan mental.
Foto: Pixabay
Covid-19 memiliki beragam cara untuk mempengaruhi otak dan kesehatan mental.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi terbaru mengungkapkan bahwa Covid-19 memiliki beragam cara untuk mempengaruhi otak dan kesehatan mental. Setidaknya, ada delapan gejala neurologis dan kejiwaan yang umum ditemukan pada pasien Covid-19.

Hal ini diungkapkan melalui temuan dalam 215 studi mengenai Covid-19 yang dilakukan di 30 negara. Studi ini melibatkan 105.638 orang dengan gejala akut Covid-19.

Baca Juga

Temuan-temuan dalam studi ini menunjukkan bahwa Covid-19 memiliki beragam cara dalam mempengaruhi kesehatan mental dan otak. Mulanya, peneliti memperkirakan bahwa gejala neurologis dan kejiwaaan lebih umum ditemukan pada kasus-kasus Covid-19 yang berat.

Akan tetapi, studi terbaru ini menemukan bahwa gejala neurologis dan kejiwaan lebih sering ditemukan pada kasus-kasus ringan. Peneliti mengungkapkan ada delapan gejala neurologis dan kejiwaan yang paling umum ditemukan dalam kasus Covid-19.

Gejala tersering adalah anosmia atau kehilangan penciuman. Gejala ini dialami sekitar 43 persen pasien Covid-19.

Gejala lain yang juga cukup sering terjadi adalah lemah, dialami oleh sekitar 40 persen pasien. Ada pula gejala kelelahan yang dialami sekitar 38 persen pasien.

Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa gejala kehilangan indera perasa kerap terjadi. Gejala ini ditemukan pada 37 persen pasien.

Beberapa gejala lain terkait neurologis dan kejiwaan yang umum ditemukan pada pasien Covid-19 adalah nyeri otot (25 persen), depresi (23 persen), dan sakit kepala (21 persen). Selain itu, gejala kecemasan juga kerap dialami oleh sekitar 16 persen pasien Covid-19.

Di samping kedelapan gejala ini, peneliti juga mendapati adanya gangguan neurologis mayor. Ganggaun tersebut meliputi strok iskemik (1,9 persen kasus), strok hemoragik (0,4 persen kasus), dan kejang (0,06 persen) kasus.

Studi dalam Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry juga memperkuat temuan ini. Studi ini menemukan bahwa gejala neurologis dan kejiwaan juga umum ditemukan pada pasien Covid-19 dengan gejala akut yang tidak dirawat di rumah sakit.

Pada kelompok tersebut, sekitar 55 persen pasien mengalami gejala kelelahan, sekitar 52 persen mengalami kehilangan indera penciuman, dan sekitar 47 persen mengalami nyeri otot. Sekitar 45 persen dari kelompok ini juga mengalami gejala kehilangan indera perasa dan 44 persen mengalami sakit kepala.

Studi ini tidak menginvestigasi mekanisme Covid-19 dalam memicu gejala-gejala neurologis dan kejiwaan. Namun ada beberapa kemungkinan yang bisa menjelaskan.

Salah satunya adalah terkait inflamasi. Pada fase awal terjadinya Covid-19, inflamasi ditemukan di otak. Inflamasi ini dinilai turut berperan dalam memicu beberapa gejala.

Perasaan kesepian saat menjalani isolasi ketika sakit juga dapat memicu depresi dan kecemasan. Beberapa studi menemukan bahwa depresi dan kecemasan lebih banyak dietmukan dalam kasus Covid-19 dibandingkan penyakit infeksi virus lain seperti flu.

"Beragam faktor dapat berperan dalam gejala neurologis dan kejiwaaan di tahap awal infeksi Covid-19, termasuk infalmasi, gangguan aliran oksigen ke otak, dan faktor psikologis, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami hubunan ini lebih baik," jawab peneliti Dr Jonathan Rogers dari UCL Psychiatry dan NHS Foundation Trust London Selatan serta Maudsley, seperti dilansir Echo, Jumat (4/6).

Peneliti lain Dr Alasdair Rooney dari University of Edinburgh mengatakan gejala neurologis dan kejiwaan sangat umum ditemukan pada pasien Covid-19. Mengingat banyaknya orang yang terkena Covid-19 di dunia, Dr Rooney mengatakan gejala Covid-19 terjarang pun bisa memberikan pengaruh yang signifikan.

"Layanan kesehatan mental dan rehabilitasi neurologis perlu diberdayakan untuk peningkatan rujukan," jawab Dr Rooney. 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement