Kamis 20 May 2021 09:39 WIB

Dialog Rumi dan Penguasa tentang Berhala dalam Diri Manusia

Jalaluddin Rumi mengakui keberadaan 'berhala' dalam diri manusia

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Nashih Nashrullah
Jalaluddin Rumi mengakui keberadaan 'berhala' dalam diri manusia. Ilustrasi
Foto: Republika/Thoudy Badai
Jalaluddin Rumi mengakui keberadaan 'berhala' dalam diri manusia. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG –  Asisten Rektor Bidang Al-Islam dan Kemuhammadiyaan, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Pradana Boy didapuk menjadi penceramah pada sholat Idul Fitri  berjamaah, Kamis (15/5). Di kesempatan itu, Boy mengisahkan dialog antara sufi Jalaluddin Rumi dan salah satu penguasa di masanya.

Sang penguasa berkata dulu orang kafir bersujud dan menyembah berhala. Kini manusia juga melakukan hal yang sama, bersujud dan menghamba pada berhala-berhala yang ada dalam dirinya. Baik itu ketamakan, dendam, bahkan juga hasrat nafsu. “Kemudian ia bertanya bahwa masih pantaskah kita mengaku sebagai Muslim?" kata Boy. 

Baca Juga

Kemudian Rumi menjawab dengan menyampaikan bahwa hal semacam itu bisa terlintas di pikiran sang penguasa. Hal ini karena mata hatinya telah dibukakan yang Maha-Agung sehingga dia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang keji.  

Rumi juga mengatakan, air asin akan terasa asin jika lidah tersebut pernah merasakan manis. Begitupun dengan hal lain, sesuatu akan menjadi jelas setelah melihat hal yang sebaliknya. Jika dihubungkan dengan Ramadhan, kisah tersebut memiliki relevansi pandangan terkait kesadaran.   

 

Menurut Boy, dari kisah tersebut dapat diambil sebuah kesadaran. Yakni kesadaran penguasa akan berhala dalam diri manusia. "Kesadaran tersebut menjadi sebuah kesadaran simbolik akan kerentanan jiwa manusia untuk jatuh ke dalam fatamorgana kehidupan dunia," ucapnya dalam pesan resmi yang diterima //Republika.co.id//, Rabu (19/5). 

Dia juga menuturkan, semua berhala yang ada dalam diri bertumpu pada satu sikap, yakni permintaan berlebih pada hal-hal berbau duniawi. Meski begitu, berdasarkan ayat yang ada dalam kitab suci, cinta terhadap hal yang berbau duniawi tidaklah salah. Sebab, hal-hal tersebut sudah disiapkan Allah SWT sebagai perhiasan untuk kehidupan manusia.   

Di samping itu, Boy menilai puasa Ramadhan menjadi awal tumbuhnya kesadaran bahwa ada sebagian manusia lain yang menjalani kehidupan pahit. Salah satunya yakni mereka yang harus menahan lapar yang luar biasa. “Manusia yang tak pernah merasakan kepahitan hidup, tentu sulit mencerna apa rasa lapar itu,” katanya. 

Ramadhan telah melatih manusia untuk bisa berempati dengan keadaan orang lain. Keadaan di mana manusia bisa merasakan situasi orang lain meskipun tidak berada di situasi tersebut. Dengan demikian, bisa memupuk solidaritas dalam kehidupan bersama.  

Wilda Fizriyani

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement