Rabu 19 May 2021 07:07 WIB

Konflik di Israel: Permusuhan Yahudi-Arab Makin Tinggi

Kota Jaffa yang tenang jadi salah satu episentrum permusuhan etnis di Israel

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Valery Sharifulin/TASS/dpa/picture-alliance
Valery Sharifulin/TASS/dpa/picture-alliance

Kasir supermarket berdarah Arab-Israel Israa Jarbou sudah bolos bekerja selama seminggu. Dia takut keluar setelah diserang oleh ekstremis Yahudi di sebuah bus di luar kota Jaffa, sebuah kawasan berpenduduk campuran keturunan Arab-Yahudi di Tel Aviv.

"Mereka melihat saya sebagai pria religius," kata pria berusia 27 tahun itu. "Tidak ada rasa aman."

Di dekat kediamannya, hidup seorang mahasiswa Yahudi bernama David Shvets. Pria berusia 24 tahun itu menyuarakan ketakutan yang sama. Ia mengatakan bahwa orang-orang Arab setempat melemparinya dengan batu dan membakar sebuah sinagoge yang berada tak jauh dari tempat tinggalnya.

"Kami sekarang jika bepergian selalu dalam kelompok besar dengan pengawalan polisi pada malam hari ... di jantung negara Israel!" katanya setengah tidak percaya, dengan menggambarkan situasi itu seperti hidup di "hutan".

Permusuhan sedang mencengkeram komunitas campuran Yahudi dan Arab Israel yang biasanya tenang, terutama sejak dimulainya eskalasi militer besar-besaran antara tentara Israel melawan kelompok Hamas di Jalur Gaza. Pertempuran paling intens sejak tahun 2014 itu dipicu oleh kerusuhan di Yerusalem, di mana polisi anti huru hara Israel menyerbu masjid Al-Aqsa dan bentrok dengan orang Palestina.

Kekerasan berkobar di tingkat nasional antara kaum Yahudi dan minoritas Arab. Sinagoge, masjid, kuburan, teater, dan restoran menjadi sasaran, dan setidaknya satu orang telah meninggal dunia akibat kekerasan itu

Akibatnya kehidupan di Jaffa dilupuhkan paksa demi menenangkan keadaan. Polisi berkuda memberlakukan penutupan jalan setiap malam, dan petugas yang dilengkapi senapan serbu giat berpatroli di jalanan.

Seorang anak laki-laki muslim berusia 12 tahun dirawat di rumah sakit setelah sebuah bom api dilemparkan ke rumahnya. Tersangka yang tidak disebutkan namanya sudah ditangkap. Tetangga muslim yang ketakutan dengan cepat menurunkan dekorasi Lebaran mereka.

Akar penyebab kekerasan terbaru sudah terjadi sejak beberapa dekade silam. Di Jaffa, serangan bulan lalu memberikan peringatan dini akan ketegangan berkepanjangan atas hak atas tanah dan properti.

Menghadapi ancaman penggusuran

Israa Jarbou berbagi apartemen yang sempit dengan sembilan orang lainnya termasuk suaminya, dua anak mereka dan ibu mertuanya.

Di luar, tempat ayam-ayam mereka berkeliaran, mereka telah melihat perubahan besar dalam beberapa tahun terakhir. Tetangga Arab berpenghasilan rendah telahgusur karena blok perumahan memberi jalan bagi pembangunan apartemen mewah.

Keluarga Jarbou, juga menghadapi ancaman penggusuran dari perusahaan perumahan negara, Amidar, yang memerintahkan mereka untuk pindah pada tahun 2018, dengan alasan sewa yang belum dibayar.

Pengacara Saar Amit mengatakan kepada AFP, bahwa dia mendapatkan pembatalan penggusuran itu dan telah meminta perusahaan mengizinkan keluarganya untuk tetap tinggal, karena kesehatan Etaf Jarbou yang memburuk dan pendapatan yang sedikit. Pihak Amidar belum menjawab.

Pada pertengahan April lalu, ketika dua pria Yahudi datang ke jalannya untuk mengecek kemungkinan pembelian, ketegangan meningkat menjadi pertengkaran yang hebat. Suami Israa Jarbou, Mahmoud, dan saudaranya Ahmad, menyerang keduanya. Perkelahian itu ikut terekam, yang mengarah kepada penangkapan Jarbou bersaudara.

"Mereka ingin mengusir kami dari rumah kami," kata Etaf Jarbou, yang mengklaim bahwa kedua pria Yahudi itu datang ke rumahnya. "Mereka mengatakan ada kekerasan. Tapi mereka melakukan kekerasan terhadap kami."

Moshe Schendowich, kepala seminari Yahudi, Meirim Beyafo, mengatakan bahwa dia dan rabi seminari sedang memeriksa properti untuk membangun perumahan bagi para mahsiswa ketika kedua pria itu menampar, memukuli, dan menendang mereka.

"Tidak ada pembenaran untuk segala jenis kekerasan, dan kekerasan ini ekstrem," kata Schendowich. Dia mengatakan organisasinya yang sebagian didanai negara bertujuan untuk "memperkuat" komunitas Yahudi di Jaffa.

Dia dan Rabi Eliyahu Mali, berafiliasi dengan gerakan di pemukiman Tepi Barat Israel. Jaffa, kata Schendowich, bukanlah kota Arab. "Jelas ada populasi Arab di sini, dan populasi Arab di sini disambut baik, tetapi komunitas Yahudi di sini adalah komunitas Yahudi yang berkembang pesat."

Keluhan orang Arab di Jaffa, seperti juga di tempat lain, berasal dari berdirinya Israel pada tahun 1948, kata pembuat film lokal, Tony Copti. "Bagi orang Arab Palestina, kawasan itu adalah ibu kota pendidikan, teater, bioskop, sekolah, dan surat kabar," katanya. "Itu adalah negara tersendiri."

Dari lebih dari 70.000 penduduk Arab saat itu, 3.000 orang yang melarikan diri atau diusir, demikian menurut Zochrot, sebuah kelompok Israel yang mendokumentasikan komunitas Palestina yang tersingkirsaat berdirinya Israel.

Di Jaffa, negara menyita rumah-rumah orang Arab, membagi-baginya lagi dan membangun apartemen untuk penduduk Yahudi dan Arab yang miskin, yang membayar sewa rendah secara simbolis sebagai "penyewa yang dilindungi".

Tetapi perubahan datang pada 1980-an, ketika Amidar mulai menjual propertinya ke seluruh Israel, menawarkan kesempatan kepada penyewa yang dilindungi untuk membeli rumah mereka dengan harga diskon.

 

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement