Senin 17 May 2021 19:16 WIB

Ini Pesan Penulis Asma Nadia di Hari Buku Nasional 

Budaya membaca masyarakat Indonesia belum mengalahkan budaya lisan.  

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Agus Yulianto
Asma Nadia
Foto: Dok. Pribadi
Asma Nadia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagi penulis Asma Nadia, hari buku nasional yang diperingati setiap 17 Mei, merupakan momen perayaan bagi pencinta buku. Biasanya, hari ini amat ditunggu sebab sering ada acara khusus yang digagas untuk meningkatkan minat berburu buku. 

Selain itu, hari buku juga momen yang membuat seluruh pendidik serta pegiat literasi jadi tergelitik. Sebab, menurut Asma, jika berkaca dari tahun ke tahun budaya membaca masyarakat Indonesia belum mengalahkan budaya lisan.  

Asma menyampaikan pesan di momen hari buku nasional kepada semua kalangan. Dia berharap, meski berlangsung di tengah pandemi serta dengan berbagai kabar tutupnya toko buku dan nihilnya event buku, tidak membuat semangat membaca turun. 

"Tiap keluarga bisa memanfaatkan layanan daring, juga aplikasi, untuk terus menumbuhkan tradisi membaca ke seluruh anggota keluarga. Ini selaras dengan semangat di rumah saja, tapi di rumah saja dengan buku," kata Asma kepada Republika.co.id, Senin (17/5).

 

Asma punya sejumlah buku favorit, salah satunya Totto-Chan karya Tetsuko Kuroyanagi. Menurut perempuan 48 tahun itu, kualitas Totto-Chan yang membuatnya unggul adalah mampu mengedukasi dengan cara menggelitik dan menyenangkan. 

Apalagi, bukunya bisa dinikmati oleh pembaca dengan rentang usia cukup jauh, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Selain Totto-Chan, Asma menyenangi karya-karya garapan Anton Chekov, Oscar Wilde,  Putu Wijaya, dan Taufiq Ismail. 

Kondisi pandemi membuat Asma lebih sering membaca dan menulis. Dia bahkan sukar menghitung berapa judul buku yang sudah dibaca sejak pandemi merebak. Waktu luang yang ada berkat imbauan di rumah saja dianggapnya bisa digunakan untuk membaca.

Pendiri Forum Lingkar Pena itu mengaitkan pula dengan kondisi Palestina yang sedang memanas di tengah konflik. Menurut Asma, hal tersebut harus menjadi motivasi bagi orang tua dan pendidik untuk mengajak anak bersyukur.

Sesulit apapun situasi pandemi dan yang bagi banyak orang terasa membosankan, kondisi masyarakat Indonesia masih jauh lebih baik daripada warga Palestina. Apalagi, mereka yang masih bisa memiliki pilihan bekerja atau belajar dari rumah.

Opsi demikian harus dianggap sebagai privilege, sebab tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan serupa. Misalnya, anak-anak di daerah dengan akses internet yang minim. Atau, saudara-saudara di Palestina yang mengalami gejolak.

Asma berharap, masyarakat dan anak-anak akan tergugah jika mengetahui informasi tentang kondisi yang terjadi di sana. Apalagi, jika memang orang tua sudah menanamkan kepedulian dan kemampuan berempati dalam diri anak.

"Jangan lupakan juga contoh yang harus diberikan orang tua di rumah, untuk lebih banyak memegang buku dibanding menikmati televisi atau konten, apalagi yang minim faedah," tutur Asma.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement