Kamis 13 May 2021 17:52 WIB

Ribuan Orang Lebaran tanpa Rumah di Penjaringan

Ribuan warga harus menjalani Lebaran yang sedih karena 400 rumah terbakar api

Rep: Febryan A/ Red: A.Syalaby Ichsan
Warga mengangkut puing sisa kebakaran dan bantuan di Jalan Kapuk Muara Raya, Gang Rawa Elok, RT 011 dan 012 RW 04, Kelurahan Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (11/5) siang. Area itu sebelumnya terbakar habis pada Sabtu (8/5) malam.
Foto: Republika/Febryan A
Warga mengangkut puing sisa kebakaran dan bantuan di Jalan Kapuk Muara Raya, Gang Rawa Elok, RT 011 dan 012 RW 04, Kelurahan Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa (11/5) siang. Area itu sebelumnya terbakar habis pada Sabtu (8/5) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, Gema takbir sayup-sayup terdengar. Di antara puing-puing dan arang, Rostini duduk melingkar bersama anak cucunya di bawah sebuah tenda. Mereka merayakan Hari Kemenangan tanpa ketupat, tanpa baju baru, dan tanpa rumah. 

"Lebaran tahun sekarang ya seperti ini saja, ngumpul aja di sini. Mau ngapain lagi. Jangankan ketupat, untuk shalat Id saja tidak bisa," kata perempuan 69 tahun itu kepada Republika, Kamis (13/5). 

 

Begitulah suasana Lebaran 2021 di kawasan padat penduduk di Jalan Kapuk Muara Raya, Gang Rawa Elok, RT 011 dan 012, RW 04, Kelurahan Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara. Ribuan warga di sana harus menjalani Lebaran yang "sedih" karena 400 rumah di area seluas 6.000 meter persegi itu hangus dilalap api pada Sabtu (8/5) lalu. 

 

Berdasarkan data Posko Korban Kebakaran RW 04, tercatat 1.449 warga mengungsi di empat lokasi pengungsian. Tapi, sebagian dari mereka mulai menempati petak tanah bekas rumahnya dengan mendirikan tenda seadanya. 

 

Rostini adalah salah satunya. "Ya rumah saya cuma tinggal lantainya. Untung aja masih ada, jadi bisa dibikin tenda," kata Yudi (34), anak bungsu Rostini. 

 

Rostini kehilangan segalanya saat kebakaran melanda. Yang berhasil, ia dan keluarganya selamatkan hanya nyawa, baju yang melekat di badan, serta sejumlah dokumen penting. 

 

Saat hari Lebaran tiba, Rostini dan suaminya hanya duduk dan tiduran-tiduran saja di bawah tenda itu sedari pagi. Mereka tak bisa melaksanakan Shalat Idul Fitri karena tak ada pakaian yang bisa digunakan. 

 

"Gimana mau shalat? Mukena sama sajadah hangus semua. Baju saya ya cuma ini," kata Rostini sembari menunjuk daster warna cokelat tua yang ia kenakan. 

 

Pada Kamis siang, sejumlah kerbat Rostini datang berkunjung. Mereka duduk ramai-ramai di bawah tenda itu. Minuman dan makanan kemasan, yang didapat dari posko bantuan, dihidangkan. 

 

Di sudut lain, bau arang sekali menyeruak dihembus angin. Turina duduk sendirian di bawah terpal biru yang dipasang pada puing-puing bangunan rumahnya.  Kaki perempuan itu tampak menghitam karena arang. Sedangkan sorot matanya tajam ke arah puing-puing yang terpanggang.

 

Meski Turina sempat melaksanakan Shalat Idul Fitri, tapi Lebaran kali ini tetap hambar baginya. "Nggak kerasa sama sekali suasana Lebaran sekarang. Ya kondisi kayak gini. Biasanya kalau Lebaran kerabat pada ngumpul di sini, sekarang nggak ada," kata Turina dengan air mata berlinang.

 

Bagi Turina, ini adalah suasana Lebaran paling tidak mengenakan yang pernah ia lalui. Kondisi terburuk pula yang ia rasakan setelah puluhan tahun menetap di sana. "Sedih Lebaran kayak gini. Tragis. Kejadiannya (kebakaran) jelang Lebaran gini," kata perempuan yang berusia hampir setengah abad itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement