Rabu 12 May 2021 13:06 WIB

Sepatutnya Penutupan Candi Borobudur Ditinjau Ulang

harusnya dilakukan sinergi kebijakan lintas pihak dan lintas sektoral.

Sejumlah wisatawan berada di lapangan Kenari kompleks Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Magelang, Jateng, Ahad (18/4/2021). Menghadapi libur Lebaran 2021, pihak TWC Borobudur telah melayangkan surat permohonan penambahan kuota pengunjung kepada gugus tugas penanganan COVID-19 dari 4.000 orang menjadi 10.000 orang.
Foto: ANTARA/Anis Efizudin
Sejumlah wisatawan berada di lapangan Kenari kompleks Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Magelang, Jateng, Ahad (18/4/2021). Menghadapi libur Lebaran 2021, pihak TWC Borobudur telah melayangkan surat permohonan penambahan kuota pengunjung kepada gugus tugas penanganan COVID-19 dari 4.000 orang menjadi 10.000 orang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Penutupan candi Borobudur pada masa pandemi Covid-19 kali ini menjadi hal lazim dilakukan demi meminimalisasi penyebaran virus.

Namun dengan sudah adanya sertifikat Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), and Environment (Ramah lingkungan) atau CHSE dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif harusnya menjadi standar khusus ketika ingin menutup sebuah tempat destinasi.

“Bukankah sertifikat CHSE itu seharusnya memberikan kepastian dan rasa aman buat pengunjung?” kata Direktur Utama PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko, Edy Setijono, ketika berbincang kepada Republika.co.id, Selasa (11/5) malam, melalui saluran telpon dari Jakarta.

Edy menjelaskan pelaksana pemberi sertifikasi ini adalah lembaga kredibel yang sudah diakui oleh negara. “Tapi mengapa pada masa seperti sekarang, destinasi yang sudah mendapatkan sertifikasi itu justru ditutup,” katanya merasa heran dengan adanya tumpang tindih kebijakan.

Kegelisahan Edy ini disampaikan setelah ditutupnya operasional Candi Borobudur pada 8-17 Mei 2021. Penutupan ini dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya kunjungan dan kerumunan pada masa liburan Idul Fitri 2021.

Keputusan penutupan tersebut diambil setelah keluarnya Surat Edaran Bupati Magelang Nomor : 443.5/1729//01.01/2021 tanggal 4 Mei 202 yang menetapkan destinasi wisata di daerah zona oranye dan zona merah dilarang, dan tempat wisatanya ditutup untuk umum.

Pada situasi seperti inilah, menurut Edy, harusnya dilakukan sinergi kebijakan lintas pihak dan lintas sektoral. Adanya koordinasi antara pusat dan daerah ini, kata alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) ini menjadi sangat penting di saat menghadapi kondisi krisis seperti yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19.

“Harusnya ke depan semua pihak bisa duduk bersama ketika hendak memutuskan sesuatu. Jangan sampai kebijakan yang sudah bagus justru menjadi terhenti di tengah jalan karena masih kurangnya koordinasi lintas sektoral,” tutur Edy.

Sebelumnya Menparekraf, Sandiaga Salahuddin Uno, menjelaskan sertifikat CHSE ini diberikan sebagai standar pariwisata untuk memberikan rasa aman bagi pemilik tempat wisata dan wisatawan secara bersamaan. Di dalamnya sudah diterapkan protokol kesehatan secara ketat dan terencana untuk menghidupkan kembali pariwisata di tengah pandemi.

“Tanpa dukungan semua stakeholder dan masyarakat luas, rasanya akan sulit mensukseskan pariwisata di masa pandemi sekaligus memulihkan ekonomi kita,” kata Sandi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement