Selasa 11 May 2021 14:57 WIB

Jangan Perlakukan Dana Zakat Layaknya Daun Salam

Jangan hanya mau duitnya zakatnya saja, sementara kepentingan umat Islam dinafikan.

Petugas Amil Zakat menerima pembayaran zakat fitrah dari warga wajib zakat (muzaki) di depan Masjid Pimpinan Pusat (PP) Persis, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Senin (10/5). Pusat Zakat Umat Lembaga Zakat Persis membuka layanan pembayaran zakat fitrah menggunakan sistem drive thru atau layanan tanpa turun selama pandemi Covid-19 dengan memberlakukan protokol kesehatan guna mencegah penyebaran Covid-19. Foto: Republika/Abdan Syakura
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Petugas Amil Zakat menerima pembayaran zakat fitrah dari warga wajib zakat (muzaki) di depan Masjid Pimpinan Pusat (PP) Persis, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kota Bandung, Senin (10/5). Pusat Zakat Umat Lembaga Zakat Persis membuka layanan pembayaran zakat fitrah menggunakan sistem drive thru atau layanan tanpa turun selama pandemi Covid-19 dengan memberlakukan protokol kesehatan guna mencegah penyebaran Covid-19. Foto: Republika/Abdan Syakura

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Faozan Amar, Dosen FEB UHAMKA dan Sekretaris LDK PP Muhammadiyah

Setiap jelang habis Ramadhan, diantara percakapan yang populer selain mudik lebaran adalah zakat.  Hal ini karena memang ada zakat fitrah yang harus dibayarkan oleh seluruh kaum muslimin, baik kaya atau miskin, untuk menyempurnakan puasanya. Disamping juga ada zakat harta (maal) yang biasanya juga dibayarkan pada bulan Ramadhan, untuk kemudahan penghitungan haul dan meraih pahala lebih.

Maka sangat wajar dan beralasan jika pada bulan Ramadhan ajakan berzakat gencar dilakukan oleh Organisasi Pengelola Zakat, baik Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh Pemerintah, maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh swasta (UU Nomor 23/2011). Semuanya berlomba-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khairat) dalam menghimpun dana zakat, infak dan sedekah dari umat Islam, khususnya para wajib zakat (muzaki). 

Indonesia memiliki potensi zakat yang sangat besar. Seiring dengan perkembangan ekonomi nasional, berkembang pula metode penghitungan potensi zakat nasional. Begitu juga kampanye ajakan berzakat dan teknis penghimpunannya tidak hanya menggunakan cara-cara konvensional yang selama telah berjalan. Tetapi, juga menggunakan digital fundraising dengan memanfaatkan teknologi informasi dan smartphone.  Sehingga memberikan kemudahan bagi para wajib zakat untuk menunaikan kewajiban berzakat.

Terdapat beberapa studi yang membahas mengenai perhitungan potensi zakat di Indonesia; UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2005) memaparkan hasil studi bahwa potensi zakat mencapai 19,3 triliun rupiah.

PIRAC, dengan survei 10 kota besar, menyimpulkan bahwa potensi rata-rata muzaki dalam membayar zakat mencapai Rp. 684.550,00 pada tahun 2007, dan meningkat dari tahun 2004, yaitu Rp. 416.000,00. PEBS FE Universitas Indonesia memproyeksikan rata-rata potensi penghimpunan dana zakat tahun 2009 mampu mencapai Rp12,7 triliun.  

Penelitian Firdaus, et. al. (2012) menyimpulkan bahwa potensi zakat Indonesia mencapai 217 triliun rupiah. Dalam penelitiannya, Firdaus, et. al. (2012) membaginya dalam tiga kelompok, yaitu potensi rumah tangga, industri menengah, besar dan BUMN, dan zakat tabungan.

Masing-masing potensi zakat yang dimiliki, yakni; rumah tangga mencapai 82,7 triliun rupiah setara dengan 1,3 pesen PDB, potensi zakat industri diproyeksikan 114,89 triliun rupiah dan BUMN 2,4 triliun rupiah, sedangkan potensi zakat tabungan mencapai 17 triliun rupiah.

Rata-rata sekitar 39% dari total penduduk Indonesia, wajib membayar zakat maal. Jika pendapatan perkapita penduduk Indonesia pada tahun 2015 sejumlah Rp 31,360.300,- maka potensi perolehan zakat seharusnya mencapai Rp 82.609.152.671.724 .

Perolehan zakat pada tahun 2015 perolehan zakat mencapai Rp 74.225.748.204,- atau kurang dari 1 % dari potensi zakat yang ada. (Canggih et al., 2017).

Sedangkan potensi zakat di Indonesia menurut BAZNAS/Kemenag (2019) mencapai Rp200 trilyun. Namun, jumlah yang berhasil dihimpun oleh Organisasi Pengelola Zakat, baik BAZ maupun LAZ hanya baru mencapai Rp 2 trilyun atau 10 persen saja. Tentu ini sangat disayangkan, padahal dari sisi regulasi, sumber daya amil dan teknologi informasi relatif jauh lebih memadai.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement