Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Deandra Salsabila

Menilik Peran Produser untuk Membangun Development Room yang Sehat Bersama Salman Aristo

Gaya Hidup | Sunday, 09 May 2021, 21:53 WIB
Salman Aristo (Dokumentasi Majalah CSR)

Sembari menunggu temannya untuk pergi latihan band bersama, terlihat sebuah pemandangan saat sekumpulan orang sedang sibuk menyiapkan peralatan kamera ke sana ke mari.

Gerabak gerubuk bawa kamera gede dan rusuh banget, ucap seorang laki-laki.

Tak hanya dilihat oleh sepasang mata sosok laki-laki tersebut, temannya yang lain pun melihat dan bertanya kepada kelompok tersebut. Guna memecahkan rasa penasaran, pertanyaan sedang apa akhirnya dilontarkan.

Ieu rek nyieun film, jawab seseorang yang sedang membawa berbagai perlengkapan kamera.

Kalimat yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti ingin membuat film itu membuat sosok laki-laki yang kini dikenal sebagai Salma Aristo terheran. Lelaki berumur 45 tahun yang kerap disapa Aris ini bertanya-tanya.

Emang kita bisa bikin film? tanya Aris dalam hati.

Momen tersebut diakui Aris sebagai momen pencerahan ketika ada orang yang berkata ingin membuat film.

Aris mengaku sudah jatuh cinta dengan film ketika berumur 5 tahun. Kala itu, ia diajak untuk pertama kalinya pergi ke bioskop oleh almarhum ayahnya. Namun, ia baru dapat membuat film ketika ia sedang menuntut ilmu di kampusnya, Universitas Padjadjaran.

Sejak itu gue nulis skenario film pendek yang waktu itu ya gatau buat siapa, tambah Aris.

Seiring berjalannya waktu, Aris akhirnya tumbuh menjadi sosok penulis skenario film, produser, dan sutradara yang hebat. Hingga saat ini, ia sudah berhasil mendapatkan Piala Citra untuk Penulis Skenario Cerita Adaptasi Terbaik (Athirah, 2016) dan Festival Film Bandung untuk Penulis Skenario Terpuji Film Bioskop (Bumi Manusia, 2020).

Dengan memakai topi seorang produser, Aris membagikan kisahnya tentang bekerja sebagai produser.

Produser, Pemangku Tanggung Jawab dalam Sebuah Film

Banyak orang yang masih berpikir bahwa produser itu bukan filmmaker, ujar Aris.

Pemikiran seperti itu sangat disayangkan oleh Aris karena sebenarnya produser adalah filmmaker. Selama bertahun-tahun, orang yang naik ke panggung saat penerimaan penghargaan film terbaik di Oscar itu produser, bukan sutradara.

Jadi kalau ditanya siapa yang buat film secara keseluruhan, ya produser, jelas Aris.

Saat menjelaskan hal ini, Aris menggunakan sebuah analogi dalam permainan sepak bola. Menurutnya, produser adalah seseorang yang memiliki klub dan mempunyai visi untuk mengatur. Lalu, sutradara adalah seorang kapten lapangan yang mengerjakannya di lapangan.

Mira Lesmana suka bercanda kalau film bagus itu punya sutradara dan film jelek itu punya produser, ujar Aris sambil tertawa.

Hal ini disebabkan produser adalah seseorang yang mengambil semua keputusan dalam pembuatan film.

Jadi kalau kalian nonton film jelek ada pemain yang aktingnya jelek, jangan salahin dulu sutradara, pemain, atau penulis skenarionya. Salahin produsernya, tambah Aris.

Perpaduan Seni, Cerita, dan Talenta

Menurut Aris, sebuah produser memiliki beberapa hal yang dicari. Pertama adalah perimbangan seni dan bisnis. Produser harus memiliki kesadaran jika biar bagaimanapun juga, film memiliki unsur bisnis. Seni audio visual itu melibatkan unsur bisnis yang sangat kuat karena berurusan dengan pasar massal.

Ketika berbicara tentang publik, masuklah ke poin kedua, yaitu cerita apa yang memikat penonton. Produser harus dapat menentukan tema, premis, plot, dan karakter yang kuat. Meskipun seorang produser tidak dapat menulis skenario, ia tetap harus paham akan ceritanya.

Billy Wilder, sutradara yang paling banyak dapet nominasi Oscar bilang kalau sutradara ga harus bisa nulis tapi dia harus bisa membaca, tambah Aris.

Perkataan dari Billy Wilder lah yang dipegang Aris hingga saat ini. Maka, hal pertama yang harus dapat dilakukan seorang produser adalah membaca skenario. Setelah itu, produser harus tahu bagaimana cara menceritakan sebuah tema, premis, dan plot.

Telling itu berbeda dengan plotting. Ceritanya bisa tentang suatu hal tapi diceritakannya bisa dengan berbagai macam cara, jelas Aris.

Setelah menemukan cara menceritakannya, produser harus menemukan siapa yang akan menceritakannya. Menurut Aris, talenta dari seorang pemain harus didahulukan dibandingkan ketenarannya.

Yang dibutuhkan itu voice bukan noise. Jadi kita gak peduli jumlah followers ig pemain karena itu noise, tambah Aris.

Cegah Development Room Menjadi Development Hell

Development Room adalah tempat di mana semua ide dikumpulkan dan dibuat. Skenario adalah hal pertama yang digarap dalam ruang development. Untuk produser, skenario adalah panduan dan pondasi berkolaborasi.

Aris mengatakan, sebelum berhubungan dengan pemain film dan yang lainnya, ada tiga tim advance dalam ruang development, yaitu produser, sutradara, dan penulis skenario. Mereka adalah orang yang paling awal didudukkan di ruang development. Namun, sebuah development room dapat menjadi development hell ketika sang produser gagal mengontrolnya.

Development hell terjadi karena produser nggak bisa kontrol siapa yang harus didengar, komen seperti apa yang harus diberikan, tambah Aris.

Aris menyatakan seorang produser harus menjadi partner penulis skenario yang baik. Ia juga membagikan cara untuk mencegah terjadinya development hell. Pertama, seorang produser harus mengenali dirinya sendiri dengan baik.

Lo mesti tau lo itu seperti apa, lo itu berpikir induktif, deduktif, atau keduanya? Karena itu menentukan cara kita bekerja di ruangan development, ujarnya.

Ketika bekerja di ruang development, menemukan berbagai komentar bukanlah hal yang asing. Maka, bentuk aksi dari seorang produser adalah memberikan komentar. Namun, apa yang keluar di development room bukan opini, tetapi pemikiran.

Gabisa seorang produser cuman komen ah gue ga suka, ah ini ga komersil, itu gabisa karena skill itu bisa dipunya sama siapa aja, imbuh Aris.

Menurut Aris, untuk membangun hal tersebut, produser harus memiliki visi. Visi adalah komponen kedua untuk mencegah terjadinya development hell. Di dalam visi kemudian akan ada proses pembuatan dan proses kolaborasi. Maka seorang produser harus paham mengenai konten, konteks, dan konsep.

Ketiga, adanya penentuan game plan, yaitu bagaimana produser memutuskan cara menceritakan sebuah cerita.

Bagaimana hubungan antara produser dan skenario yang mau dibuat. Karena ketika bakal ngomongin ceritanya gimana, cara berceritanya gimana, bakal balik ke hubungan itu, imbuh Aris.

Produser juga harus membuat timeline atau alur kerja. Namun, timeline bukan lah sekadar deadline, melainkan juga memikirkan akan sebuah pencapaian.

Timeline itu sama dengan milestone, bukan sekedar tanggal doang, tambahnya.

Tak hanya itu, produser harus menjadi kompas dalam pembuatan skenario. Lalu, produser lah yang bertanggung jawab untuk menciptakan proses development yang sehat.

Selanjutnya, uang itu tidak akan memecahkan semua hal. Maka, produser harus menjadi seorang problem solver, jelas Aris.

Menjadi problem solver dalam proses penulisan dan development skenario adalah hal yang wajib dilakukan. Produser harus mempunyai mentalitas problem solver, yaitu mencari solusi. Mengajak semua orang, untuk menjadi problem solver merupakan sebuah bentuk dari proses development yang sehat.

Satu hal yang harus ada di mindset produser, lo itu sebaik kolaborator lo. Ada versi lain, lo itu diukur dari musuh lo, kalo musuh lo cemen, lo juga cemen, ujar Aris.

Empati, Kunci Membuat Development Room yang Sehat

Kata empati dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa dalam keadaan perasaan yang sama dengan seseorang. Kata empati juga dianggap Aris menjadi kata kunci untuk menciptakan ruang development yang sehat.

Aris juga membagikan cara untuk menciptakan ruang development yang sehat dan tentunya menjadi idaman semua insan yang berada di dalamnya.

Pertama, produser harus mengenali rekan kerjanya. Kedua hak pekerja, orang yang bekerja tersebut harus dipenuhi dulu haknya. Ketiga, perhatikan kondisi dari keahliannya, mental dan fisik, waktunya mereka bekerja energinya mereka. Terakhir, mengukur kapan seorang produser harus being kind dan being right itu dilakukan.

Development room itu harus jadi ruangan yang safe, ruang aman, dan ruang nyaman. Produser harus menciptakan itu karena di situ orang bakal ngeluarin isi hatinya, pemikirannya, ujar Aris.

Semua orang di dalam ruang development bebas berpendapat tanpa harus mengalami judgement atau komentar yang membuatnya tidak nyaman. Sebagai produser, mereka harus memahami seni menyimak. Pemimpin harus dapat memberi komentar setelah semuanya anggotanya selesai berbicara.

Kegagalan, Suatu Proses Pembelajaran

Namanya juga development, gaada tuh nulis sekali langsung jadi, kata Aris.

Produser harus memiliki skill revisi skenario. Revisi merupakan bagian proses, bukan sebuah kegagalan. Menurut Aris, gagal itu okey, tidak kompeten no.

Kalo gue ngeband terus gitaris gue bikin salah, gue terima. Tapi kalau gitaris gue gabisa nyetem, sorry itu inkompetensi, tambahnya.

Produser itu harus dapat melihat apakah seseorang sedang membuat salah atau seseorang tersebut tidak dapat melakukannya. Membuat salah itu tidak apa-apa karena itu proses.

Masalahnya di inkompetensinya bukan orangnya. Kalo inkompetensinya bisa diberesin tapi orangnya tetep sama yaudah lanjut, jelas Aris.

Aris menjelaskan juga mengenai seni revisi. Menurutnya, produser merupakan seorang pemandu yang harus menjadi lucid thinker. Kepercayaan diri dan kerendahan hati adalah modal dari lucid thinker. Lalu, critical thinking lah yang dilakukan seorang lucid thinker.

Menyampaikan kritik bukan hal yang mudah. Ketika melakukan itu, seseorang harus memastikan jika orang yang diberi kritik tidak mudah tersinggung. Maka, Aris menjelaskan sebuah seni menyampaikan kritik.

Mengutip dari Daniel C. Dennett, Aris selalu melakukan cara ini ketika ingin menyampaikan kritik. Pertama, mencoba mengungkapkan dimana posisi rekan yang dikritik dengan jernih, jelas, dan adil. Hal ini akan membuat orang tersebut berkata, Wah, makasih. Seandainya saya memikirkan itu.

Kedua, mendaftar poin kesepakatan. Lalu yang terakhir adalah menyerut yang kita pelajari dari karya atau proses tersebut. Setelah itu, barulah seorang produser dapat menyampaikan kritiknya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image