REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai Kementerian Pertahanan (Kemenhan) masih terhambat anggaran untuk modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista). Menurut Fahmi, kementerian yang saat ini dipimpin Menteri Pertahanan Prabowo Subianto itu memang mendapat pagu belanja sekitar Rp 136,99 triliun.
Namun, anggaran tersebut tidak semua untuk pengadaan alutsista. Kemenhan hanya mengalokasikan anggaran sekitar Rp 9,3 triliun untuk pengadaan alutsista. Fahmi mengatakan, dengan anggaran sebanyak itu, Prabowo berencana melakukan modernisasi serta pemeliharaan alutsista untuk tiga matra. Masing-masing, TNI AD sekitar Rp 2,65 triliun, TNI AL sekitar Rp 3,75 triliun, dan TNI AU dengan anggaran Rp 1,19 triliun.
Fahmi mengatakan, total belanja militer pemerintah hanya 0,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka itu jauh tertinggal dibanding negara tetangga, seperti Singapura yang memiliki anggaran militer sekitar Rp 162,7 triliun. Fahmi menilai Menhan Prabowo perlu mencari solusi atas persoalan anggaran ini. “Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menegaskan bahwa pihaknya terus berupaya mencari solusi atas persoalan anggaran dan bagaimana menjawab kebutuhan modernisasi dan peremajaan alutsista itu dengan cepat,” katanya, Sabtu (8/5).
Fahmi menambahkan, pihaknya mencatat, sejak awal 2021 menhan sudah melakukan kunjungan diplomasi pertahanan ke sejumlah negara. Menurutnya, salah satu tujuan lawatan Menhan Prabowo ini adalah untuk modernisasi alutsista melalui penjajakan kemungkinan pengadaan dari negara produsen. Misalnya, terkait rencana pengadaan kapal selam untuk menjaga teritorial perairan Indonesia.
"Jadi untuk kepentingan pertahanan bawah laut, kita membutuhkan kapal selam. Kapal selam adalah salah satu alutsista unggulan bagi Angkatan Laut. Dia memiliki efek deteren atau kemampuan penangkalan dan penghadangan yang paling tinggi,” katanya.
Fahmi menilai, Indonesia setidaknya memerlukan 12 kapal selam dari 25 kapal selam untuk mengamankan kawasan perairan. Namun, faktanya Indonesia hanya memiliki kurang dari setengahnya. “Sampai hari ini kita baru mampu memiliki lima kapal, termasuk KRI Nanggala-402 yang tenggelam dan KRI Cakra yang seusia,” jelasnya.
Khairul Fahmi mengingatkan skema-skema kerjasama yang dibahas tetap harus dicermati dengan seksama, terutama yang menyangkut pembiayaan, transfer teknologi maupun peluang kerjasama produksi. Selain itu, sambung dia, diperlukan telaah yang serius terhadap kesesuaian antara kepentingan nasional dengan proses yang meliputi kebijakan nasional dan kebijakan luar negeri, serta hasil yang hendak dicapai.