Jumat 07 May 2021 14:43 WIB

Mengembalikan Kesempatan Belajar yang Hilang

OECD menyatakan 2020 lalu, sekitar 1,5 miliar siswa di 188 negara tidak dapat sekolah

Tim Water Rescue DMC (Disaster Management Centre) Dompet Dhuafa membantu siswa SDN 1 Sajira, Kabupaten Lebak, menyeberangi Sungai Ciberang untuk menuju sekolahnya.
Foto: Dok. Domper Dhuafa
Tim Water Rescue DMC (Disaster Management Centre) Dompet Dhuafa membantu siswa SDN 1 Sajira, Kabupaten Lebak, menyeberangi Sungai Ciberang untuk menuju sekolahnya.

Guru Agung

Pegiat Pendidikan di Dompet Dhuafa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Satu tahun lebih dunia pendidikan (formal) tersandera pandemi Covid-19. Masih tingginya angka penyebaran virus, mengakibatkan sekolah tetap menjadi satu-satunya fasilitas publik yang belum bisa dibuka secara luas.

Dari perspektif ekonomi pendidikan, pembatasan pembukaan sekolah secara tak langsung tentu menimbulkan kekhawatiran panjang atas kesejahteraan ekonomi individu dan negara. Pada laporan yang dikeluarkan di bulan April 2021 kemarin, OECD menyatakan bahwa 2020 lalu, sekitar 1,5 miliar siswa di 188 negara tidak dapat bersekolah. Banyak dari mereka tidak memiliki akses ke sumber belajar digital atau tidak memiliki dukungan atau motivasi untuk belajar sendiri. 

Tentunya sulit untuk memprediksi secara pasti bagaimana penutupan sekolah akan mempengaruhi perkembangan masa depan siswa. Namun ekonom Eric Hanushek dan Ludger Woessmann (2020 [2]), sebagaimana dikutip oleh OECD, memperkirakan bahwa siswa di sekolah yang terkena dampak penutupan terancam memiliki pendapatan sekitar 3 persen lebih rendah selama seluruh masa hidup mereka untuk setiap tiga bulan dari waktu pembelajaran efektif yang hilang. 

Hilangnya kesempatan belajar ini tentu kian  mengancam sistem pendidikan kita. Sebelum pandemi saja, menurut laporan Bank Dunia tahun 2020 menyatakan bahwa secara rata-rata anak-anak Indonesia hanya akan menerima pembelajaran setara 7,9 tahun sekolah.

Walaupun secara umum mereka akan menyelesaikan pendidikan rata-rata selama 12,3 tahun. Mutu pendidikan yang rendah, ditambah dengan hilangnya kesempatan belajar akibat pandemi tentu adalah musibah yang harus kita temukan segera peta jalan solusinya.

Pada survey yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa melalui program Sekolah Guru Indonesia (SGI) di 80 Kabupaten/Kota dan 20 Provinsi pada pertengahan April 2021, kian menguatkan opini bahwa dampak penundaan pembelajaran tatap muka secara penuh, bukan hanya menimbulkan resiko hilangnya pengalaman belajar, namun dikhawatirkan juga akan melahirkan  generasi yang hilang.

92,5 persen responden guru menyatakan mengalami beragam kendala dalam melaksanakan pembelajaran di masa pandemi hingga sekarang ini. Kendala tersebut antara lain: Ketersediaan waktu dan pemakaian model-model pembelajaran konvensional yang menjadi kurang efektif (29,5 persen); Kendala sarana gawai, lemah jaringan sinyal, dan keterbatasan kuota (27,3 persen); Kondisi siswa siswa yang telah terlalu bosan, kurang disiplin, dan kehilangan konsentrasi (22 persen); Serta, kurangnya dukungan orangtua yang sibuk bekerja atau kesulitan dalam melakukan pendampingan belajar (13,8 persen).

Survey ini melibatkan 400 responden guru dengan komposisi: 33,5 persen guru berstatus ASN/PNS, dan hanya 28,5 persen guru yang telah disertifikasi. Dari keseluruhan responden, hanya 18,8 persen guru yang telah melakukan pembelajaran tatap muka dengan durasi waktu yang dipersingkat atau dipecah dalam pembagian jadwal yang berbeda.

Seringkali tatap muka ini tidak dilakukan di sekolah, tapi memilih di beberapa lokasi strategis yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai posko pembelajaran secara aman. Didapati beberapa guru mengaku masih harus berkunjung ke rumah siswa dan memberikan tugas belajar mandiri menggunakan buku dan LKS yang sudah disediakan di awal semester. persenMayoritas guru, atau sekitar 51 persen, memilih menggunakan pembelajaran campuran antara daring dan luring. Sementara 30,2 persen guru menerapkan pembelajaran jarak jauh walau tanpa dukungan sarana dan media yang memadai.

Dari kedua pilihan pembelajaran ini, sebanyak 7,3 persen guru mengaku hanya bisa melakukan aktivitas pembelajaran dengan cara berkunjung ke rumah-rumah siswa yang umumnya telah dibagi menjadi beberapa kelompok belajar. Hal ini disebabkan banyak orang tua terkendala karena tidak memiliki gawai, atau ada yang memiliki sarana komunikasi namun tidak mampu membeli kuota internet.

Semua pihak tentu berharap agar pandemi ini segera berakhir. Pembelajaran dinanti-nanti bisa kembali normal seperti sediakala. 36,8 persen responden guru menginginkan bisa menyelenggarakan pembelajaran tatap muka bisa terwujud pada tahun ajar yang baru ini. Namun di sisi lain, 59 persen guru juga menyatakan bahwa tanpa disertai upaya inovasi, beragam pilihan pendekatan pembelajaran di kala pandemi tidak akan bisa berjalan efektif. Secara alamiah, pasca pandemi berakhir sekalipun, iklim (ber)sekolah hampir tidak mungkin berbalik normal. Semuanya tengah bergerak, mencari kesetimbangan dan adaptasi yang baru, sehingga pada akhirnya kita akan terbiasa melupakan kebiasaan-kebiasaan di masa lalu.

Dampak pandemi yang tak kunjung usai terus memperlebar ketimpangan sosial, ekonomi, pendidikan, serta pengetahuan. Bagi sekolah-sekolah dengan fasilitas, daya dukung lingkungan, serta sumber daya yang memadai, belajar daring berbasis aplikasi dan media sosial pada awalnya bisa menjadi solusi. Namun setelah sekian lama dicoba dan menjadi kebiasaan rutin, model-model alternatif pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang dimunculkan secara darurat, kini terasa kurang efektif dan jadi membosankan. Para orang tua pun juga kerap mengeluh karena harus menyediakan tenaga, pikiran, waktu, dan dana tambahan untuk memfasilitasi anak belajar daring dari rumah.  

Pendidikan, sebagaimana juga sektor-sektor lain, terus dipaksa bertransformasi dalam rangka beradaptasi dengan banyaknya perubahan. Beragam kebiasaan baru sejatinya adalah titik balik atau momentum yang tepat untuk melakukan lompatan, bukan malah berputar kembali ke belakang. Semestinya momentum ini bisa dipakai untuk membuka sejumlah peluang baru yang dapat dimanfaatkan untuk mencipta gagasan purwarupa pendidikan setidaknya untuk satu dasawarsa ke depan.

Kemampuan beradaptasi serta keberanian berinovasi menjadi kata kunci untuk keluar dari krisis pendidikan yang diakibatkan pandemi berkepanjangan. Para guru harus diberi kesempatan belajar yang lebih besar untuk bisa mengembangkan inovasi-inovasi baru dalam pembelajaran. Pengembangan profesional keguruan di kala pandemi bisa diarahkan pada materi pembekalan yang lebih praktis dan aplikatif, terutama dalam mengelola inovasi pembelajaran berbasis teknologi digital. 

Banyak inovasi pembelajaran yang bisa digagas oleh para guru di tengah tantangan pemberlakukan pembatasan kegiatan masyarakat. Namun memulai perubahan pastinya tidak akan mudah. Selain tantangan iklim birokrasi pendidikan kita yang masih relatif kaku dalam bertindak, infrastruktur teknologi juga belum dinikmati secara merata di semua titik. Isu kesenjangan pengetahuan dalam penguasaan informasi, beserta keterampilan penggunaan teknologinya, juga menjadi ancaman nyata bagi efektivitas pembelajaran di kala pandemi.

Satu tahun pandemi ini harus memicu munculnya pemikiran-pemikiran baru pada lanskap persekolahan di Indonesia, khususnya pada pengembangan sistem pembelajaran. Interaksi belajar-mengajar yang sebelum pandemi hanya terjadi di dalam ruangan kelas, bisa bertransformasi ke dalam banyak modifikasi. Ini perlu disikapi secara serius. Titik tekannya tidak hanya sebatas berinovasi dalam mengelola pembelajaran virtual berbasis teknologi dan internet. 

Program belajar dari rumah, telah memunculkan habitasi baru di luar pola interaksi antara guru, siswa, dan sumber belajar. Komponen lain yang bisa dilibatkan dalam interaksi belajar ini tentunya adalah orang tua di rumah. Bahkan dalam skala terbatas, dan tetap menjaga protokol kesehatan juga bisa melibatkan masyarakat dan lingkungan di sekitar rumah. Di tengah pembatasan sosial, gagasan besar Ki Hadjar Dewantara terkait dengan pemikiran Tri Pusat Pendidikan nampaknya mulai bisa didengungkan kembali. 

Semua elemen yang bisa berinteraksi langsung dengan kehidupan sehari-hari peserta didik bisa saling terhubung untuk membentuk suatu sinergi yang mendukung proses pembelajaran di saat pandemi. Terlebih "Proses belajar dapat terjadi kapan saja dan di mana saja terlepas dari ada yang mengajar atau tidak. Proses belajar terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya" (Arief S. Sadiman, 2010: 1). Inilah yang kemudian disebut dengan ekosistem pembelajaran.

Sebagai sebuah proses, pembelajaran dibangun oleh beragam interaksi siswa dalam belajar dan mendapatkan pengajaran dari gurunya. Sedangkan sebagai sistem, pembelajaran bukan hanya mensyaratkan terpenuhinya entitas yang terbangun dari beragam unsur atau elemen. Untuk mencapai tujuannya, pembelajaran juga harus menghadirkan serangkaian interaksi yang terukur, teratur, dan terkoordinasi dari beragam unsur tadi. Lagi-lagi hal ini menguatkan bahwa pembelajaran memang membutuhkan ekosistem yang bisa mendorongnya untuk tetap tumbuh dalam situasi dan waktu apapun.

Filosofi pembelajaran sepanjang hayat yang kerap diserukan dalam kurikulum nasional kita hanya dapat terjadi jika semua elemen dalam ekosistem pembelajaran ini dapat saling berkomunikasi, berkontribusi, dan bahkan bisa berkolaborasi antara satu dengan yang lain. Ekosistem pembelajaran itu sendiri sejatinya merupakan wujud kesatuan sosial yang berakar dari budaya masyarakat Indonesia yang senang bergotong-royong, dan terbiasa memikul tanggung jawab sosial secara bersama-sama. Jadi ekosistem pembelajaran ini bukanlah tradisi asing bagi bangsa Indonesia.

Ancaman hilangnya pengalaman belajar tidak lain disebabkan karena tidak dibangunnya dukungan dari berbagai elemen ekosistem pembelajaran tersebut. Lantas apa yang membuat ekosistem pembelajaran ini belum bisa terbangun lagi?

Inti dari ekosistem pembelajaran bertujuan untuk terus menghidupkan lima upaya utama dalam pendidikan, yakni: upaya peneladanan, pengasuhan, pembiasaan, pembelajaran, hingga usaha penerapan. Lima proses pendidikan inilah yang akan mendukung perkembangan fisik, emosi, sosial, intelektual, dan spiritual sejak anak dalam kandungan sampai dewasa dalam praktik-praktik kehidupan nyata.

Jadi sebenarnya hakikat pendidikan ini hanya bisa dicapai jika setiap sekolah mampu berkolaborasi dalam kehidupan bersama-sama keluarga dan masyarakat di sekitarnya. Bahkan pembelajaran yang sebenarnya tidak terjadi di sekolah, melainkan di dalam kehidupan nyata, tempat peserta didik menjalani kehidupan sehari-hari bersama keluarga, lingkungan, dan masyarakatnya.

Dua dekade yang lalu, isu pendidikan nasional kita dipenuhi oleh ide-ide transformasi dari pendekatan pembelajaran pasif yang didominasi oleh “ceramah” guru, menuju pendekatan pembelajaran aktif yang banyak didukung oleh ide-ide progresif-konstruktivis dalam pendidikan. Namun isu pendidikan, terutama sejak masa pandemi ini, mendorong terjadinya pergeseran dari pendekatan pembelajaran aktif yang terbatas hanya di dalam ruangan kelas, menjadi pembelajaran untuk pemecahan masalah-masalah nyata yang secara otentik terjadi di sekeliling kehidupan sosial peserta didik. 

Komunikasi dan koordinasi antara guru, peserta didik, dan juga orang tua tentu jangan hanya sebatas pemberian tugas berupa soal-soal pemantik berkognisi rendah. Pembelajaran dari rumah harus tetap disupervisi sebagai proses yang bermakna dan bertujuan. Prosesnya ini juga bisa dileburkan dalam aktivitas keseharian peserta didik yang mengandung unsur penanaman nilai-nilai karakter, dan penerapan keterampilan berpikir tingkat tinggi. 

Dalam ekosistem pembelajaran, antara peserta didik, sekolah, keluarga, dan juga masyarakat masing-masing memiliki peran dan kontribusi yang bisa saling menguatkan. Guru di sekolah tidak hanya berperan dalam menyusun perencanaan dan pemberian tugas saja. Setiap guru harus bekerja lebih ekstra dalam menyusun modul atau bahan belajar mandiri yang tidak saja diperuntukkan bagi siswa, namun juga bisa digunakan oleh orang tua dan masyarakat dalam menjalankan peran pedagogiknya. Tanpa modul ini, pembelajaran jarak jauh tidak akan bisa berjalan secara efektif. Ibarat mobil mewah, tapi tidak memiliki mesin.

Selain berperan sebagai sumber belajar alternatif bagi peserta didik, orang tua dan masyarakat juga didorong untuk menjadi fasilitator pembelajaran. Hal ini bertujuan agar iklim atau budaya akademik bisa terbangun di rumah dan di lingkungan sekitar rumah. Model penilaian secara otomatis juga akan mengalami perubahan. Penilaian otentik yang menekan pada pengukuran sikap dan pencapaian keterampilan akan jauh lebih dominan ketimbang penilaian formatif-kognitif. Di titik inilah ekosistem pembelajaran juga membutuhkan peran orang tua dan masyarakat dalam memberikan penilaian sebagai umpan balik bagi perkembangan belajar peserta didik.

Kemampuan berpikir tingkat tinggi ini memang telah menjadi ruh dari Kurikulum 2013. Untuk mendukung kemampuan berpikir tingkat tinggi ini, pembelajaran dari rumah harus dibangun atas tujuh kemampuan proses, yaitu: “mengamati; mengelompokkan; memproyeksikan; menerapkan; menganalisis; melakukan penelitian sedehana; dan mengkomunikasikan hasil." (S. Hamid Hasan, 1995: 213-214). Tujuh kemampuan proses inilah yang kemudian dikembangkan menjadi lima tahapan pendekatan sains dalam pembelajaran ala Kurikulum 2013.

Perubahan paradigma Ini menuntut keberadaan ekosistem pembelajaran untuk bisa mendukung terbentuknya iklim atau budaya akademik peserta didik agar terlatih dalam berpikir kritis dan berpikir kreatif. Dua kemampuan berpikir inilah yang disebutkan oleh Bank Dunia (2019: 72) sebagai keterampilan yang akan semakin dihargai oleh pasar tenaga kerja untuk menopang kemampuan beradaptasi, yakni kecepatan untuk merespons keadaan yang berubah secara tidak terduga. Kemampuan beradaptasi membutuhkan kombinasi antara keterampilan kognitif untuk berpikir kritis dan cara pemecahan masalah, dengan keterampilan sosiobehavioral, yakni pengembangan rasa ingin tahu dan optimalisasi kreativitas.

Bila dilihat dari kurikulum nasional, kerangka teori dan filosofi yang menjadi landasan dasar fundamental dalam pendidikan kita nampaknya cukup kuat dalam menghadapi tantangan perubahan besar dunia. Kurikulum kita sama sekali tidak jauh berbeda dengan hasil kajian yang dilakukan oleh Bank Dunia, UNESCO, dan lembaga-lembaga internasional lainnya. Perubahan pada empat dari delapan Standar Pendidikan yang menjadi acuan pengembangan Kurikulum 2013 memiliki tujuan salah satunya untuk membangun keseimbangan hardskill dan softskill yang sesuai dengan kecakapan abad ke-21.

Namun pada kenyataannya, dampak pandemi justru membuat pendidikan kita makin porak poranda. Jika sudah seperti ini, jangan-jangan bukan fundamental pendidikan kita yang bermasalah, melainkan mental elemen-elemen pelaku pendidikan yang harus segera berbenah. Tampaknya tema dari peringatan Hari Pendidikan Nasional 2021 ini bisa kita tambahkan sedikit: “Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar dan Ekosistem Pembelajaran”.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement