Sabtu 08 May 2021 01:03 WIB

Jangan Bangga Kalau Bisa Menghalau Pemudik Lebaran

Sejak awal pemerintah seolah plin-plan dalam melarang mudik lebaran.

Aparat gabungan melakukan penyekatan kendaraan mudik lebaran 2021 di perbatasan DIY-Jateng, Salam, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (6/5). Penyekatan ini untuk menghalau pemudik dari luar Magelang dan Jogja. Kendaraan dengan plat nomor di luar Magelang dan Jogja akan diperiksa surat keterangan bebas Covid-19.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Aparat gabungan melakukan penyekatan kendaraan mudik lebaran 2021 di perbatasan DIY-Jateng, Salam, Magelang, Jawa Tengah, Kamis (6/5). Penyekatan ini untuk menghalau pemudik dari luar Magelang dan Jogja. Kendaraan dengan plat nomor di luar Magelang dan Jogja akan diperiksa surat keterangan bebas Covid-19.

Oleh : Bayu Hermawan, Jurnali Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Seperti tahun sebelumnya, Hari Raya Idul Fitri tahun ini juga harus dirayakan masih dalam kondisi pandemi Covid-19. Seperti tahun sebelumnya, masyarakat khususnya umat muslim di Indonesia, tidak bisa bebas dalam merayakan hari kemenangan, karena harus terbatasi sejumlah aturan demi mencegah penularan covid-19. Salah satu yang dirasa terberat adalah larangan mudik atau pulang ke kampung halaman.

Semakin dekatnya Hari Raya Idul Fitri, topik seputar mudik semakin banyak dan santer terdengar. Mulai dari grup whatsapps komplek rumah, hingga obrolan dengan keluarga dan tetangga. Ada yang bercerita bahwa mereka dapat lolos mudik tanpa kendala, alias tidak disuruh putar balik atau bahkan tanpa perlu menjalani isolasi selama 14 hari saat tiba di kampung halaman.

Beberapa bercerita sambil bangga bahwa meski pemblokiran akses masuk ke kampung halamannya menghiasi media massa, toh ternyata mereka bisa mulus mendarat di kampung halaman.

Di sisi lain, ada yang mengeluh karena gagal mudik. Mulai dari alasan aturan yang ribet hingga tak berani bermain kucing-kucingan dengan petugas. Selain menjadi topik paling sering dibicarakan (di samping kapan THR cair tentunya...), mudik lebaran juga sebenarnya menjadi indikator untuk mengukur bagaimana kepatuhan masyarakat terhadap pemerintah.

Ukurannya gampang, semakin banyak orang-orang ngotot melakukan perjalanan mudik, baik itu melalui moda transportasi umum seperti bus, kereta, pesawat hingga kapal laut, atau dengan kendaraan pribadi, artinya semakin aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dianggap sepi. Jadi jika ada berita yang menyebut petugas berhasil menghalau ratusan pemudik, seharusnya jangan merasa bangga. Tapi mesti dikaji mengapa mereka tidak patuh dengan aturan yang ada. Padahal, pemerintah sudah gencar menyampaikan soal larangan mudik, mulai dari disampaikan lansung oleh presiden, menteri-menteri, satgas Covid, kepala daerah setempat hingga pakar-pakar, namun faktanya warga yang tetap ingin berangkat mudik juga tetap banyak.

Mengapa tetap banyak warga yang ngotot mudik. Alasannya pertama tentu dari sisi pemerintah. Bukan karena alasan politis ya, tapi lebih karena sejak awal pemerintah seolah plin-plan dalam melarang mudik. Seolah pemerintah ingin terlihat tegas di satu sisi namun kompromis di sisi lain. Coba saja lihat aturan yang disampaikan oleh pemerintah.

Pemerintah membagi dua aturan soal perjalanan mudik, yakni masa pengetatan perjalanan mulai 22 Juni-5 Mei. Kemudian peniadaan mudik mulai 6 Mei sampai 24 Mei. Seandainya sejak awal langsung tegas mengambil keputusan mudik dilarang, tanpa embel-embel kata pengetatan, tentu akan lebih mudah masyarakat untuk mematuhinya. Belum lagi, sanksi penegakan terkait larangan mudik pun terkadang tidak tegas. Dengan alasan humanis, petugas masih bisa berkompromi dengan pelanggar aturan, padahal seharusnya tidak boleh kalau memang benar-benar aturan itu mau dipatuhi masyarakat.

Salah satu yang menarik lagi adalah terkait di pembukaan tempat pariwisata selama libur lebaran. Benar pemerintah mengeluarkan sejumlah aturan terkait pembukaan tempat pariwisata ini, seperti membagi wilayah domisili dan aglomerasi, yang artinya sebuah tempat pariwisata hanya bisa dikunjungi oleh masyarakat yang berdomisili di kabupaten/ kota atau dalam kawasan aglomerasi dimana tempat pariwisata itu berada. Namun, karena masih banyak masyarakat yang malas membaca, dikhawatirkan hal itu justru akan menjadi kontradiktif dengan aturan larangan mudik.

Di sisi lain masyarakat kini terasa semakin abai dengan kondisi pandemi. Masyarakat semakin berani berkerumun dan merasa seolah pademi sudah selesai. Tak percaya, coba saja tengok apa yang terjadi di Pasar Tanah Abang. Apa yang terjadi di Pasar Tanah Abang menunjukan bahwa bukan hanya masyarakat seolah tak takut lagi dengan Covid-19, namun bagaimana mereka abai serta melupakan aturan protokol kesehatan yang selalu digaungkan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Jadi dengan semakin dekatnya lebaran, maka kita bisa semakin tahu juga bagaimana tingkat kepatuhan masyarakat terhadap pemerintah. Jika banyak berita-berita soal pelanggaran mudik, maka artinya semakin kurang kepatuhan itu. Sebaliknya jika tidak, maka bukan hanya ada harapan penyebaran Covid-19 diredam, namun jadi bukti bahwa masyarakat masih patuh, taat dan mendengar aturan pemerintah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement