Selasa 27 Apr 2021 13:55 WIB

Menyambut Rebound Ekonomi Seiring Meredanya Pandemi

Prediksi rebound ini secara umum didasarkan pada teori siklus bisnis.

 Abdul Hakim, Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Islam Indonesia.
Foto: Dokumen.
Abdul Hakim, Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Islam Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Abdul Hakim

Fakultas Bisnis dan Ekonomi Universitas Islam Indonesia

Harapan akan berakhirnya pandemi Covid-19 membesar seiring ditemukannya berbagai varian vaksin Covid-19 (misalnya Pfizer, Moderna, Sinovac), serta semangat aplikasi pemberian vaksin tersebut di segala penjuru dunia. Pandemi ini memang tidak akan benar-benar selesai dalam waktu tiga tahun, namun perekonomian diharapkan mengalami rebound mulai 2021.

Pandemi yang telah berjalan lebih dari setahun ini telah menurunkan kinerja ekonomi secara keseluruhan. Tingkat pertumbuhan ekonomi di banyak negara mengalami penurunan, bahkan ada yang mencapai negatif. Pada 2020, PDB riil dunia diperkirakan turun 4,4 persen. Ekonomi negara-negara maju diperkirakan turun sebesar 5,8 persen sementara ekonomi negara-negara berkembang diperkirakan turun 3,3 persen (IMF, World Economic Outlook, Oktober 2020).

Namun para ekonom memiliki kepercayaan bahwa perekonomian akan mengalami rebound dengan sendirinya, karena naturalnya memang demikian. IMF memprediksikan bahwa pada 2021, PDB riil dunia diperkirakan tumbuh 5,2 persen, ekonomi negara-negara maju diperkirakan tumbuh sebesar 3,9 persen sementara ekonomi negara-negara berkembang diperkirakan tumbuh 6,0 persen (IMF, World Economic Outlook, Oktober 2020).

Prediksi rebound ini secara umum didasarkan pada teori siklus bisnis. Teori siklus bisnis menyatakan bahwa PDB riil (sebagai ukuran utama perekonomian) memiliki tren positif sepanjang waktu. Peningkatan PDB riil ini terjadi karena peningkatan populasi dan peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas biasanya terpicu oleh kemajuan teknologi, penemuan sumber daya baru, ataupun penemuan proses baru (business process) yang lebih efisien.

Perekonomian (PDB riil) mengalami fluktuasi di sekitar garis tren tersebut. Fase peningkatan ekonomi (ekspansi) biasanya akan diikuti oleh fase penurunan ekonomi (resesi). Satu siklus, terdiri dari satu fase ekspansi dan satu fase resesi (atau sebaliknya), bisa berjalan sekitar delapan tahun. Namun harus diketahui pula bahwa siklus tidaklah berjalan teratur dalam hal kurun waktunya.

Berbagai ekonom memiliki pendapat berbeda tentang hal ini. Kitchin Inventory Cycle berjalan 3-5 tahun, Juglar Fixed Investment berjalan 7-11 tahun, Kuznets Infrastructural Investment Cycleberjalan 15-25 tahun, sementara Kondratiev Wave (long technological cycle) berjalan 45-60 tahun (Wikipedia).

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi siklus bisnis, yakni static effect dan shock. Dalam static effect, fluktuasi pasar secara natural terjadi sebagai akibat dari perubahan dalam kondisi pasar bebas. Hal ini bisa terjadi karena adanya perubahan dalam perilaku konsumsi dan juga produktivitas perusahaan yang ada di dalam perekonomian.

Shock adalah kejadian yang tidak bisa diprediksikan. Shock merupakan abnormal catalist bagi terjadinya fluktuasi ekonomi. Shock bisa berdampak positif, dalam arti menjadi pemicu ekspansi, namun bisa juga berdampak negatif, dalam arti menjadi pemicu resesi. Lalu, bagaimanakah dampak dari pandemi Covid-19 ini?

Secara teori, pandemi ini digolongkan sebagai sebuah shock. Terjadinya pandemi ini akan mempersingkat proses ekspansi (jika pandemi ini terjadi pada masa ekspansi), atau akan memperpanjang periode resesi (jika pandemi ini terjadi pada masa resesi).

Tidaklah mudah memprediksi siklus bisnis, karena faktor emosi manusia (economic agents) turut berperan dalam hal ini. Hal ini terkait dengan psikologi masyarakat. Berbagai hipotesis dan teori seperti adaptive expectation maupun rational expectation, telah mencoba memodelkan perilaku masyarakat terkait isu ekonomi.

Kebijakan fiskal dan moneter

Berikut ini sebuah gambaran skenario tentang siklus ekonomi dan psikologi masyarakat yang mengalaminya. Ketika ekonomi sedang dalam masa ekspansi, para pelaku ekonomi akan merasakan optimism, diikuti oleh excitement, thrill, dan berpuncak ke euphoria. Namun puncak ekspansi ini bisa jadi merupakan awal dari perlambatan (resesi) ekonomi pada fase berikutnya.

Ketika ekonomi mulai menurun, maka para agen ekonomi akan mulai merasakan anxiety diikuti oleh denial (sebagian pelaku ekonomi masih belum mau menerima kenyataan bahwa ekonomi sedang mengalami resesi), kemudian mulai disusul oleh fear (ketakutan), desperation, panic, capitulation, despondency, dan berakhir ke depression, yang merupakan emosi ketika ekonomi mencapai titik terendah (trough).

Ketika ekonomi pada akhirnya mulai membaik, maka akan mulai muncul hope, kemudian relief, dan kembali ke optimism. Katakanlah kita mengalami trauma dengan adanya resesi ekonomi yang disebabkan oleh pandemi ini. Ketika pandemi berakhir, trauma investasi yang gagal sebagai akibat kurangnya demand barang kali masih akan menghantui, sehingga para investor mengambil sikap menunggu.

Jika sebagian besar investor bersikap demikian, maka proses rebound ekonomi, yakni peralihan dari fase resesi ke fase ekspansi, akan terganggu. Dalam kondisi ini, pemerintah melalui kebijakan fiskal atau moneter, bisa menjadi pemicu untuk mengawal proses rebound. Pemerintah memang memiliki kapasitas untuk memperpendek masa ekspansi (yang mengakibatkan tingginya inflasi), dan memperpendek masa resesi (yang mengakibatkan tingginya tingkat pengangguran).

Bahwa pemerintah menerapkan kebijakan tersebut tepat pada waktunya, seperti kita ketahui bersama, telah menjadi perdebatan klasik. Jenis dan pemilihan waktu kebijakan pemerintah sangat tergantung pada berbagai hal, di antaranya mazhab pemikiran ekonomi yang dianut oleh pemerintah.

Meskipun tidak mudah, para ekonom akan membuat model tentang siklus ekonomi yang terhantam shock pandemi ini. Dari model tersebut, mereka akan bisa memperkirakan kapan ekonomi akan mengalami rebound. Sosialisasi masa rebound tersebut ke masyarakat luas tampaknya diperlukan.

Sosialisasi ini diharapkan membuat masyarakat bisa mengambil irama yang tepat dalam mengiringi masa rebound tersebut. Jika secara natural ekonomi sudah memasuki masa rebound, tetapi masyarakat terlambat menyambut, bisa jadi ekonomi akan mengalami resesi lebih lama dari yang seharusnya. apat disimpulkan bahwa psikologi masyarakat memiliki peran besar dalam rebound ekonomi.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement