Rabu 21 Apr 2021 04:31 WIB

Agar Penurunan Suku Bunga Bank Lebih Optimal

Ditahannya suku bunga acuan dapat tingkatkan ekspektasi dunia usaha.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolandha
Dua rangkaian KRL melintas dengan latar belakang permukiman padat penduduk dan gedung bertingkat di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Kamis (19/11). Penurunan suku bunga perbankan masih bisa terus dioptimalkan seiring dengan penahanan suku bunga acuan Bank Indonesia.
Foto: ANTARA/M Risyal Hidayat
Dua rangkaian KRL melintas dengan latar belakang permukiman padat penduduk dan gedung bertingkat di kawasan Tanah Abang, Jakarta, Kamis (19/11). Penurunan suku bunga perbankan masih bisa terus dioptimalkan seiring dengan penahanan suku bunga acuan Bank Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penurunan suku bunga perbankan masih bisa terus dioptimalkan seiring dengan penahanan suku bunga acuan Bank Indonesia. Suku bunga 7 Days Reverse Repo Rate (7DRRR) ditahan di level 3,5 persen dalam Rapat Dewan Gubernur BI bulan April 2021.

Pengamat Perbankan yang juga Kepala Ekonom Bank Central Asia, David Sumual mengatakan ditahannya suku bunga acuan ini dapat meningkatkan ekspektasi dunia usaha sehingga mulai mengakses kredit perbankan. Tren penurunan suku bunga perbankan juga masih terus berlanjut hingga saat ini.

"Nilai suku bunga perbankan sudah lebih rendah lagi menjelang April ini," katanya pada Republika.co.id, Selasa (20/4).

Penurunan suku bunga dasar kredit (SBDK) per Februari 2021 sebesar 171 bps (yoy). Penurunan SBDK tersebut terutama terjadi pada kelompok bank BUMN yang turun sebesar 266 bps (yoy) menjadi sebesar 8,70 persen.

Menurut David, penurunan lebih lanjut tinggal menunggu waktu saja. Apalagi dengan didorong oleh beberapa kebijakan, seperti transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) yang membuat sudah sewajarnya penurunan terjadi dan ditahannya suku bunga acuan hingga saat ini.

"Biasanya dunia usaha mulai confident bahwa ekonomi mulai membaik dengan ditahannya suku bunga acuan, jadi kini mereka bisa mulai kredit lagi, daripada suku bunga acuan turun lagi itu menurunkan apetite kredit,"  katanya. 

David mengatakan, perbankan terus memperhitungkan dampak kebijakan dengan berbagai benchmark dan segmen kredit yang ada. Seperti penurunan tidak merata untuk semua segmen baik kredit UMKM, korporasi, hingga retail tergantung dengan risiko.

"Ada perhitungan-perhitungannya, mulai dari tenornya banyak macam, berbagai segmen juga, biasanya tergantung dengan deposito," katanya.

David menilai penurunan SBDK yang optimal bisa mirip dengan penurunan suku bunga acuan. Namun ini tergantung pada peta persaingan antar bank. Semakin ketat maka penurunan bisa lebih signifikan.

Ia menilai suku bunga perbankan kini mayoritas sudah turun jadi single digit. Seperti kredit korporasi yang sudah mirip dengan yield Surat Berharga Negara (SBN). Namun ini juga tergantung dari risiko. Suku bunga kredit retail masih cukup tinggi karena faktor tersebut.

Peneliti Indef Bhima Yudhistira menyampaikan penurunan suku bunga perbankan bisa didorong dari sisi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan. Caranya dengan menurunkan yield SBN yang diterbitkan dan sebelumnya banyak dimanfaatkan perbankan.

"Pemerintah menerbitkan SBN dengan yield tinggi, sehingga perbankan lebih tertarik beli SBN dengan dapat marging hingga 1-2 persen, daripada disalurkan ke dunia usaha yang masih berisiko," katanya.

Menurut Bhima, penurunan yield bisa berdampak cukup signifikan karena jumlah kepemilikan bank di Surat Utang Negara (SUN) naik cukup tajam selama pandemi Covid-19. Total kepemilikan bank di SUN senilai Rp 622,2 triliun atau 22,6 persen dari total SUN rupiah yang dapat diperdagangkan.

Per 16 Desember 2020, dana perbankan yang dibenamkan di obligasi negara mencapai Rp 1.497,05 triliun atau meroket hampir 2,5 kali lipat. Porsi dana perbankan di SUN pun naik menjadi 38,77 persen.

"Dengan penurunan yield SUN, likuiditas bank bisa lebih disalurkan ke dunia usaha," katanya.

Sisi dunia usaha juga dinilai telah membaik terutama di sektor komoditas perkebunan dan pertambangan. Dipicu juga oleh naiknya pemulihan permintaan di negara tujuan ekspor tradisional khususnya China. Meski pemulihan di pasar domestik memang masih lambat apalagi jelang pelarangan mudik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement