Refleksi Ramadhan: Beda Istighfar-Taubat dan Tingkatannya

Red: Nashih Nashrullah

Sabtu 17 Apr 2021 05:59 WIB

Istighfar merupakan upaya hamba meminta ampun beda dengan taubat. Ilustrasi minta ampunan Foto: ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi Istighfar merupakan upaya hamba meminta ampun beda dengan taubat. Ilustrasi minta ampunan

REPUBLIKA.CO.ID, Antara istighfar dan taubat sering diartikan sama di dalam bahasa Indonesia, padahal keduanya berbeda. Istighfar adalah ungkapan spontanitas seorang hamba yang baru saja menyadari kekhilafannya dengan mengucapkan kalimat istighfar, misalnya Astaghfirullahal 'adhim.

Sedangkan taubat lebih dari sekadar itu. Taubat menuntut persyaratan lebih banyak. Dalam kitab Hadâiq al-Haqâiq karya Muhammad bin Abi Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin Ar Razi (W 660 H), taubat disyaratkan dengan meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat, mengucapkan kalimat istighfar, seraya menyesali perbuatan dosa dan maksiat itu, bertekad dalam hati untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi.

Sebagian ulama menambahkan syarat meminta maaf kepada mereka yang telah dianiaya dan mengembalikan hak-hak mereka, mengganti perbuatan dosa dan maksiat itu dengan amal kebajikan, menghancurkan daging dan lemak yang tumbuh dalam dirinya yang berasal dari sumber yang haram dengan cara al-riyadhah. 

Riyadhah yakni menjalani latihan jasmani dan rohani dalam menempuh berbagai tahapan menuju kedekatan diri kepada Allah, dan mujahadah, yakni perjuangan melawan dorongan nafsu amarahnya, tidak makan, minum, dan memakai pakaian kecuali yang bersumber dari yang halal, dan mensucikan hati dari sifat khianat, tipu daya, sombong, iri hati, dengki, panjang angan-angan, lupa terhadap kematian, dan semacamnya. Dengan demikian, taubat lebih berat daripada istighfar.

Taubat dalam kitab Ihya 'Ulumuddin karya monumental Al Ghazali (W. 505 H), mengisyaratkan ada tiga tingkatan. Pertama, taubatnya orang awam, yaitu taubat dari dosa dan maksiat. Kedua, taubatnya orang khawas, yaitu taubat tidak karena melakukan dosa atau maksiat melainkan taubat karena alpa melakukan ketaatan yang bersifat sunah, misalnya meninggalkan sholat Dhuha, sholat Tahajud, puasa Senin-Kamis, dan lain-lain.

Ketiga, taubatnya orang khawashul khawash, yaitu taubat bukan karena dosa dan maksiat atau meninggalkan ketaatan sunah, apalagi wajib, melainkan taubat karena berkurangnya nilai khusyuk dari seluruh rangkaian rutinitas ibadah yang dilakukan.

Bagi golongan ini, alpa sedikit saja tidak mengingat Allah SWT dirasakan seperti melakukan dosa, sehingga ia berusaha untuk menutupi kelemahankelemahan itu dengan taubat dan istighfar.

Rasulullah SAW pernah ditanya istrinya, 'Aisyah RA, mengapa engkau menghabiskan waktu malammu untuk beribadah, bukankah engkau seorang Nabi yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT? Rasulullah menjawab singkat, "Apakah aku tidak termasuk hamba yang bersyukur".

Dari sini bisa dipahami bahwa porsi makna taubat tidak hanya sekadar pembersihan diri dari dosa dan maksiat tetapi lebih banyak bermakna mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah SWT (taqarrub ilallah).

Dalam perspektif tasawuf, para ulama menempatkan istighfar dan taubat sebagai maqam atau anak tangga pertama dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Maqam-maqam berikutnya seperti sabar, qanaah, faqir, zuhud, tawakal, ridha, mahabbah, dan makrifat akan menyusul dengan sendirinya jika maqam taubat sudah dituntaskan.

Dengan kata lain, istighfar dan taubat adalah anak tangga yang harus dilalui seorang hamba. Siapapun dan apapun kedudukan dan status seseorang, termasuk Rasulullah SAW sendiri senantiasa menjalankan taubat. Bahkan 'Aisyah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah tidak pernah kurang 100 kali mengucapkan lafaz-lafaz istighfar. Istighfar dan taubat akan meringankan beban hidup seseorang. Wallahu a'lam.