Sabtu 17 Apr 2021 04:48 WIB

Risiko Pembekuan Darah Pasien COVID-19 Lebih Tinggi

Penliti Oxford: Risiko Pembekuan Darah Pasien COVID-19 Lebih Tinggi

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Risiko Pembekuan Darah Pasien COVID-19 Lebih Tinggi
Risiko Pembekuan Darah Pasien COVID-19 Lebih Tinggi

Peneliti Universitas Oxford dalam studinya melaporkan pada hari Kamis (15/04) bahwa seseorang berisiko mengalami pembekuan darah delapan kali lebih tinggi setelah terinfeksi COVID-19 daripada setelah disuntik vaksin AstraZeneca.

Vaksin AstraZeneca yang dikembangkan Universitas Oxford ini belakangan menuai kontroversi menyusul laporan tentang pembekuan darah langka yang dialami penerima vaksin pascapenyuntikan. Beberapa negara bahkan telah menangguhkan penggunaannya untuk menyelidiki laporan tersebut.

Sementara jika dibandingkan dengan orang normal, pasien COVID-19 disebut 100 kali lebih mungkin mengalami pembekuan darah langka, yang dikenal sebagai trombosis vena serebral (CVT), demikian kata para ilmuwan Oxford.

Apa saja hasil penelitian Universitas Oxford?

Studi yang dilakukan terhadap lebih dari 500 ribu pasien COVID-19 ini menemukan bahwa sekitar lima dari satu juta orang mengalami pembekuan darah langka setelah menerima dosis pertama vaksin AstraZeneca mereka.

Sementara empat dari satu juta orang yang menerima suntikan vaksin berbasis mRNA seperti vaksin BioNTech-Pfizer atau Moderna, juga dilaporkan mengalami CVT.

Studi Oxford tersebut juga menunjukkan risiko terjadinya CVT sekitar 10 kali lebih tinggi setelah terinfeksi COVID-19 daripada setelah disuntik vaksin berbasis mRNA.

"COVID-19 secara nyata meningkatkan risiko CVT, menambah daftar masalah pembekuan darah yang disebabkan oleh infeksi ini," kata Paul Harrison, profesor psikiatri dan kepala Grup Neurobiologi Translasional di Universitas Oxford.

"Risiko bagi [pasien] COVID-19 lebih tinggi daripada yang kita lihat dengan vaksin yang ada saat ini, bahkan untuk mereka yang berusia di bawah 30 tahun, sesuatu yang harus diperhitungkan ketika mempertimbangkan keseimbangan antara risiko dan manfaat vaksinasi," tambah Harrison.

Maxime Taquet, yang juga dari Departemen Psikiatri Universitas Oxford, mengatakan bahwa data ini harus ditafsirkan dengan hati-hati, karena studi tersebut berfokus pada Inggris.

"Namun, sinyal bahwa COVID-19 terkait dengan CVT, serta trombosis vena portal - gangguan pembuluh darah hati - jelas, dan harus kita perhatikan," tambah Taquet.

Apa perbedaan vaksin AstraZeneca dengan vaksin mRNA?

Vaksin AstraZeneca yang dikembangkan Oxford dikenal sebgai jenis "vaksin vektor". Vaksin ini menggunakan teknologi vektor virus adenoviral, di mana adenoviral digunakan sebagai pembawa spike virus yang dimodifikasi untuk memicu respons kekebalan.

Sementara vaksin yang menggunakan teknologi mRNA mengambil sebagian kecil informasi genetik virus untuk memicu respons imun melalui produksi protein langsung di dalam sel.

Laporan kasus pembekuan darah pun telah memicu kekhawatiran atas vaksin vektor, di mana laporan serupa juga terjadi pada penggunaan vaksin produksi Johnson & Johnson.

Kontroversi vaksin AstraZeneca

Sebelumnya, Badan Pengawas Obat Eropa (EMA) mengatakan manfaat vaksin AstraZeneca masih lebih besar ketimbang risikonya setelah beberapa negara melaporkan kasus pembekuan darah.

EMA mengatakan telah menerima laporan 169 kasus pembekuan darah langka pada orang yang menggunakan vaksin COVID-19 dari AstraZeneca, dari total 34 juta dosis suntikan yang telah diberikan.

Beberapa negara dengan hati-hati membatasi penggunaan vaksin AstraZeneca, seperti Jerman yang menangguhkan penggunaan vaksin AstraZeneca untuk orang di bawah usia 60 tahun.

Denmark pada hari Rabu (14/04) juga mengumumkan akan menghentikan penggunaan vaksin AstraZeneca secara permanen.

Ed: rap/ gtp

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement