Senin 19 Apr 2021 06:07 WIB

Peta Jalan Kemandirian Pesantren, Mau ke Mana?

Lahirnya UU Pesantren ibarat dua mata pisau bagi keluarga besar pesantren.

Santri membaca Alquran bersama-sama. Lahirnya UU Pesantren ibarat dua mata pisau bagi keluarga besar pesantren. (foto ilustrasi)
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Santri membaca Alquran bersama-sama. Lahirnya UU Pesantren ibarat dua mata pisau bagi keluarga besar pesantren. (foto ilustrasi)

Oleh : Nashih Nashrullah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Uji publik Peta Jalan (Roadmap) Pengembangan Kemandirian Pesantren oleh Kementerian Agama pada Kamis (15/4) yang dihadiri sejumlah perwakilan pondok pesantren, menyisakan beberapa catatan terkait upaya mendorong kemandirian pesantren di satu sisi dan peningkatan sumber daya santri sekaligus di sisi yang lain. Upaya untuk mendongkrak kemandirian pesantren melalui pemberdayaan ekonomi, sejatinya merupakan jalan panjang yang sudah ditempuh para pemangku kebijakan, terutama Kementerian Agama. 

Pada 5 November 2014, misalnya,  Kementerian Agama melalui menterinya saat itu, Lukman Hakim Saifuddin, menandatangani nota kesepahaman dengan Bank Indonesia untuk rancang bangun Peta Jalan (Road Map) Pengembangan Kemandirian Ekonomi Ponpes. Tahapan pengembangan kemandirian ekonomi pesantren, yaitu 2015-2018, adalah membangun fondasi pengembangan kemandirian ekonomi pesantren. Terkait ini, telah dilakukan penelitian awal untuk memetakan permasalahan dan potensi ekonomi pesantren, serta penyusunan roadmap dan implementasi pada tingkat makro dan mikro.

Sementara, 2019-2021 adalah memperkuat strategi dan program dengan langkah mereplikasi pesantren yang terlibat dalam pilot project. Sedangkan 2022-2024, mengimplementasikan secara luas, serta memposisikan model bisnis kemandirian ekonomi pesantren sebagai salah satu keunggulan nasional. 

Pada periode Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qoumas ini, roadmap disusun meliputi strategi dan rencana aksi nyata. Agenda besar ini tentu patut mendapat apresiasi. Hal ini mengingat keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan ‘rakyat’ akar rumput selama ini, dinilai berada di kelas kedua, baik dari segi kualitas maupun pembiayaan. Kendati demikian, memang tak bisa dimungkiri bahwa asumsi pesantren tak pernah mandiri juga tak sepenuhnya benar. Pesantren jutru selama ini adalah satu-satunya lembaga pendidikan tertua di Tanah Air yang mendanai operasional pendidikannya secara swadaya, tidak tergantung pihak ketiga, dalam hal ini yang dimaksud adalah pemerintah atau lembaga swasta lainnya.

Namun, dalam konteks tanggung jawab negara terhadap lembaga pendidikan, munculnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2019 Tentang Pesantren adalah entry point yang sangat penting untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga berkualitas, terutama dari aspek pengelolaan dan pemberdayaan. Lahirnya UU  Pesantren ini memang ibarat dua mata pisau bagi keluarga besar pesantren. Bisa bermakna sebuah anugerah bagi pesantren mengingat beberapa premis kondisi pesantren seperti disampaikan di atas. Namun, juga bisa tidak menguntungkan jika pesantren sendiri tidak mengondisikan diri, layak dan pantas mendapat anugerah itu. Sederhananya, seberapa siapkah pesantren bergerak ke tengah setelah ratusan tahun berada di pinggir?

Empat strategi yang terdapat dalam roadmap bila diperas pada dasarnya berporos pada tiga poin penting, yaitu identifikasi, kemitraan, dan tertib administrasi. Yang saya maksud identifikasi adalah, pertama, meliputi identifikasi potensi yang ada di pesantren, termasuk di dalamnya identifikasi masalah dan solusi. Sebagai contoh pengembangan ekonomi pesantren tentu tidak bisa dilepaskan dari ‘kearifan lokal’ yang dimiliki. Pesantren-pesantren yang berada di wilayah tandus dan sulit air tentu tidak bisa dipaksakan dengan pengembangan agrobisnis. Pun demikian halnya dengan pesantren yang berada di wilayah pesisir. Identifikasi ini pula yang menjadi faktor penting dalam mewujudkan community economic development.

Menurut saya, bagian dari identifikasi juga adalah bagaimana memetakan potensi dan kemampuan santri sesuai minat dan bakat. Tidak berhenti pada pesantren sebagai sebuah institusi. Tuntutan perkembangan zaman dan ragam kebutuhan di dunia kerja merupakan peluang sekaligus tantangan bagi dunia pesantren untuk mampu menyiapkan tenaga unggul yang kompatibel dengan realitas luar. Bahwa pesantren sebagai pusat tafaqquh fiddin, iya, itu adalah mutlak, tetapi menyiapkan kader-kader ‘siap pakai’ juga tak bisa dinafikan urgensinya. Poin yang melibatkan partisipasi aktif santri tampaknya harus dipertegas lagi dalam roadmap yang disusun Kemenag ini. Penekanannya adalah merespons bonus demografi dan era revolusi industri 4.0.  

Kedua, kemitraan. Ini juga penting. Kemitraan ini memungkinkan pesantren untuk menutupi kekurangan resource, sumber daya finansial, sumber daya manusia, dan ketiadaan infrastruktur. Kemitraan ini bisa dilakukan dengan beragam lembaga, baik swasta maupun pemerintah. Kemitraan ini bukan berarti nihil persoalan. Jika berbicara soal akses, berapa banyak pesantren yang mempunyai pesantren mempunyai jejaring kuat untuk menjalin kemitraan di berbagai levelnya? Ini problem. Asas pemerataan mendasari pentingnya distribusi bantuan, permodalan, atau setidaknya sinergitas pesantren dengan pesantren dan pesantren dengan lembaga nonpesantren. Tak heran jika kita akan dapati ‘ketimpangan bantuan’. Ada pesantren yang rutin memperoleh bantuan, tetapi sebaliknya tak sedikit pesantren ‘terisolasi’ dari suntikan dana. 

Dan, terakhir adalah tertib administrasi. Ini juga persoalan. Sebagian besar, atau bahkan nyaris setiap mitra memberlakukan ketentuan berupa pelaporan administrasi yang sangat rigid. Ketentuan ini bukan tanpa konsekuensi. Kemampuan pesantren untuk tertib administrasi pelaporan, berdampak pada terciptanya trust, terutama menyangkut input dan output yang  dihasilkan dari kemitraan tadi. Akhir kata, saya melihat optimisme luar biasa dalam agenda besar ini. Tinggal lagi-lagi kembali pada internal pesantren itu sendiri. Peluang-peluang saat ini dan ke depan sejatinya mulai terbuka, jangan sampai pesantren yang mempunyai saham besar bagi tegaknya NKRI, justru seperti kata pepatah, bagaikan ayam mati di lumbung padi. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement