Kamis 15 Apr 2021 03:54 WIB

Masa Jabatan Presiden Dibatasi agar tak Terjebak Otoriter

Pasal 7 UUD 1945 mengatur masa jabatan presiden hanya dua periode. 

Rep: Mimi Kartika/ Red: Agus Yulianto
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ Andalas Feri Amsari memberikan paparan dalam diskusi di Jakarta.
Foto: Republika/Prayogi
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ Andalas Feri Amsari memberikan paparan dalam diskusi di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, mengatakan, masa jabatan presiden dibatasi agar yang bersangkutan tidak terjebak menjadi otoriter. Hal ini merupakan amanat Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengatur masa jabatan presiden hanya dua periode (satu periode menjabat selama lima tahun).

"Salah satu pasal jantung reformasi konstitusi ya Pasal 7 itu, memberikan batasan kepada presiden agar presiden tidak terjebak pada otoritarianisme dan menjadi seperti raja," ujar Feri dalam diskusi daring, Rabu (14/4).

Dia menolak, jika Pasal 7 tersebut dimaknai agar masa jabatan diperpanjang lebih dari dua periode ketika presiden mampu menggabungkan polarisasi warga negara. Justru presiden harus mampu memberikan yang terbaik warga negara ketika akan mengakhiri masa jabatannya.

Feri mengatakan, masa jabatan presiden hakikatnya 10 tahun. Presiden dapat menjabat kembali pada periode kedua jika masyarakat memilihnya lagi karena presiden dianggap layak untuk memimpin negara.

 

Dia menegaskan, Pasal 7 UUD 1945 merupakan aturan main yang harus ditegakkan, itu pun dengan sejumlah batasan dalam sistem kekuasaan presiden. Dengan demikian, masa jabatan presiden tidak bisa diperpanjang lebih dari dua periode berdasarkan kondisi baik saat ini.

"Jadi aturan main konstitusionalnya sudah jelas, soal rakaat dalam sistem presidensial itu lima tahun dua kali periode. Jangan kemudian karena dia baik lalu kemudian dia diperpanjang," kata Feri.

Menurut dia, aturan memperpanjang masa jabatan karena kondisi baik hari ini dapat menipu. Ia mencontohkan, perpanjangan masa jabatan presiden berkali-kali terjadi pada Presiden Rusia Vladimir Putin dengan perubahan konstitusi.

Jika ini dilakukan juga di Indonesia, Feri berkata, banyak hak warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam pemerintahan akan hilang. Dia juga menolak gagasan calon tunggal presiden melawan kotak kosong yang dapat membunuh bangsa.

"Harus ada kesempatan bagi warga negara lain untuk kemudian memperoleh posisi yang sama, bukankah UUD mengatur bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan," tutur Feri.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement