Kamis 08 Apr 2021 09:24 WIB

Pendidik Diajak Ubah Paradigma Jadi Infinite Player

Seorang infinite player tidak akan pernah merasa kalah dari orang lain.

Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, saat mengisi Workshop Penguatan Kapabilitas Kepala Sekolah SMK di Provinsi Papua dan Papua Barat 2021 melalui Penguatan Ekosistem SMK Melalui Gerakan Sekolah Menyenangkan dan Pengembangan Kemitraan Strategis dengan Dunia Kerja di Sorong, Papua Barat, Senin (21/3).
Foto: Republika/Fernan Rahadi
Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, saat mengisi Workshop Penguatan Kapabilitas Kepala Sekolah SMK di Provinsi Papua dan Papua Barat 2021 melalui Penguatan Ekosistem SMK Melalui Gerakan Sekolah Menyenangkan dan Pengembangan Kemitraan Strategis dengan Dunia Kerja di Sorong, Papua Barat, Senin (21/3).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sistem pendidikan di Indonesia yang diterapkan selama ini diibaratkan sebagai sebuah finite game, di mana terdapat berbagai hal membatasi seperti regulasi, kurikulum, akreditasi, dan sebagainya. Hal ini dinilai bertentangan dengan tujuan pendidikan yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara yakni pendidikan untuk memanusiakan manusia.

"Karena dunia pendidikan ini adalah sebuah infinite game atau permainan tak berbatas," kata pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal, dalam sebuah workshop pendidikan beberapa waktu lalu.

Rizal menjelaskan, pada hakikatnya tujuan sebuah finite game adalah untuk memenangkan pertandingan. Sementara, menurut Rizal, tidak ada menang dan kalah dalam dunia pendidikan.  

"Pendidikan adalah perjalanan membangun peradaban yang membutuhkan waktu dan perjalanan yang panjang. Oleh karena itu, konsep infinite game, yakni bertanding untuk tetap berada dalam permainan, lebih relevan diterapkan di dunia pendidikan," ujar pengajar Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi (DTETI) UGM itu. 

Menurut Rizal, mengejar kompetisi dalam pendidikan justru akan melahirkan rasa frustrasi dan kehilangan sumber daya untuk bertahan. "Supaya kita dapat bertahan dalam infinite game pendidikan, kita memerlukan kebahagiaan yang dicapai bukan melalui kompetisi, melainkan peningkatan pencapaian kita," katanya.

Seorang infinite player tidak akan pernah merasa kalah dari orang lain walaupun masih lebih tertinggal. "Infinite player fokus untuk membantu orang lain. Walaupun terkadang produknya di depan terkadang di belakang, dia tidak terjebak untuk mengikuti matriks kesuksesan orang lain," ujar alumnus Monash University, Australia itu.

Saat ini, dengan konsep finite game, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan sertifikasi guru. Namun terbukti hal tersebut tidak memiliki dampak signifikan terhadap kualitas pendidikan. "Ini membuktikan (yang perlu diubah) ini merupakan masalah mindset dan mental (para pendidik)," ujarnya.

Rizal menegaskan, seorang infinite player bertujuan bukan untuk mengalahkan orang lain melainkan mengalahkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, kompetitor utamanya adalah targetnya sendiri. Tujuannya adalah menjadi versi terbaik bagi dirinya sendiri.

Ia pun mengajak para pendidik, seperti kepala sekolah dan guru, untuk menjadi seorang infinite player. "Karena targetnya yang tahu adalah diri kita sendiri, dalam sekolah kita masing-masing, tidak perlu ikuti regulasi, akreditasi, ataupun segala sesuatu lainnya yang membatasi kita. Saya mengajak kepala sekolah dan guru untuk menjadi seorang infinite player," tuturnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement