Rabu 07 Apr 2021 11:07 WIB

Dradjad: Indonesia Jangan Condong ke China atau AS

Kepentingan nasional Indonesia jauh lebih terjamin jika tetap di tengah.

Ekonom Indef Dradjad Wibowo mengingatkan agar Indonesia berada di posisi tengah dalam menghadapi China dan Barat.
Foto: istimewa/doc pribadi
Ekonom Indef Dradjad Wibowo mengingatkan agar Indonesia berada di posisi tengah dalam menghadapi China dan Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA —  Ekonom senior Indef, Dradjad Hari Wibowo menyarankan pemerintah untuk tidak miring ke China ataupun Barat. Kepentingan nasional Indonesia akan jauh lebih terjamin jika posisinya ada di tengah-tengah.

"Jangan miring ke Barat atau Amerika Serikat, jangan juga ke China,” kata Dradjad, dalam perbincangannya dengan Republika.co.id, Rabu (7/4).

Dradjad mengatakan, dalam politik global saat ini banyak perkembangan yang membuat konstelasi antar negara blok semakin rumit dan kompleks. Ujungnya, setiap negara atau blok menempatkan kepentingan sendiri semakin jauh di atas kepentingan pihak lain.

Contohnya adalah nasionalisme vaksin yang menimbulkan benturan keras antar Uni Eropa dan Inggris. "Pemicunya adalah kegagalan AstraZeneca mencukupi pasokan vaksin Uni Eropa,” kata Ketua Dewan Pakar PAN ini.

Saking strategisnya masalah ini bagi poleksosbudhankam Uni Eropa,  kata Dradjad, Kanselir Merkel dan Presiden Macron sampai harus conference call dengan Presiden Putin untuk menjajaki vaksin Sputnik V.  "Kasarnya, saking kerasnya ribut dengan teman (Inggris), dua negara terbesar di Uni Eropa (Jerman dan Perancis) harus menghubungi lawan (Rusia),” kata Dradjad.

China sebagai negara pertama yang terkena pandemi COVID-19, menurut Dradjad, justru menikmati keuntungan politik global melalui vaksin.

Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar dunia justru belum bisa berbuat banyak. Kata Dradjad, mereka masih sibuk dengan dirinya sendiri. Vaksin produksii AS masih belum banyak dibagikan ke dunia saking tingginya kasus COVID-19 di sana.

Baca juga : Ambisi Jalur Sutra Baru, Iran-China Makin Kuat

"Konstelasi politik global yang makin rumit dan kompleks juga muncul di bidang ekonomi, pertahanan dan keamanan,” ungkap mantan petinggi BIN ini.

Kondisi ini bisa menimbulkan keuntungan bagi Indonesia, tapi juga bisa menjadi masalah serius. Jika tidak pandai-pandai menavigasi kapal,  kata Dradjad, Indonesia bisa dianggap sebagai satelit satu negara, entah AS, Barat, China atau Rusia. Ini akan sangat merugikan kepentingan nasional.

"Jika miring ke China, Indonesia bisa dikerjai Barat. Rugi besar. Porsi dagang kita dengan Barat tinggi. Alutsista juga banyak dari Barat,” kata Dradjad.

Tapi jika miring ke Barat, China juga bisa ngambek. Padahal konflik Laut China Selatan itu dampaknya besar terhadap integritas wilayah NKRI.  Termasuk vaksinasi Indonesia juga salah satunya tergantung China.

Karena itu, lanjut Dradjad, Indonesia harus tetap berada di tengah. Jangan sampai ada satu negara yang dominan terhadap berbagai bidang kepentingan Indonesia.

Indonesia sudah bagus bisa menjamin pasokan vaksin dari Sinovac. Tapi agar Indonesia tidak miring ke China, pengembangan vaksin Merah Putih  wajib dipercepat. Demikian juga dengan riset dan inovasi obat COVID-19. "Jangan undak-undik soal vaksin dan obat,” ungkapnya.

Dalam hal perdagangan juga demikian. Menurut Dradjad, peranan China semakin besar, sekitar dua kali lipat Amerika Serikat ataupun Jepang. Indonesia harus segera diversifikasi ekspor dan impor.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement