Jumat 19 Mar 2021 14:46 WIB

110 Cambuk dan ‘Dusta’ Imam Abu Hanifah

Abu Hanifah kembali menolak tawaran itu. Dia ditangkap dan dijebloskan ke penjara

 Matahari terbit di Koege, Denmark, Denmark, Selasa dini hari, 23 Februari 2021. Awan dengan debu dari gurun Sahara diperkirakan akan melewati Denmark hari ini.
Foto: EPA-EFE/MADS CLAUS RASMUSSEN
Matahari terbit di Koege, Denmark, Denmark, Selasa dini hari, 23 Februari 2021. Awan dengan debu dari gurun Sahara diperkirakan akan melewati Denmark hari ini.

REPUBLIKA.CO.ID,Nu’man bin Tsabit bin Zuta bin Mahan at-Taymi yang lebih dikenal sebagai Imam Abu Hanifah dikenal merupakan sosok yang cerdas dan teguh dalam berpendirian. Pakar ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu hadis, ilmu kalam hingga ilmu kesusasteraan ini mewarnai hidupnya dengan kokohnya kesabaran saat menghadapi ujian. 

Imam Abu Hanifah bahkan mengalami dua ujian pada masa dua khalifah yang berbeda. Pertama pada zaman Dinasti Umayyah saat Gubernur Baghdad dijabat oleh Yazid bin Amr. Yazid memanggil sang imam untuk menawarkan jabatan qadi kepadanya. Namun, dengan cepat sang imam menolak tawaran kedudukan tersebut. Gubernur pun tersinggung dan marah. Dia pun mengancam peletak Mazhab Hanifah itu dengan penjara dan hukuman cambuk. 

Imam Abu Hanifah pun dijatuhkan hukuman penjara dan cambuk sebanyak 110 kali. Saat menerima hukuman tersebut, sang imam berjuluk Imam al-A’zham itu berkata, “Hukuman dunia dengan cemeti masih lebih baik dan lebih ringan bagiku ketimbang cemeti di akhirat nanti.” 

Setelah pergantian penguasa, ternyata ujian akibat ulah dari kezaliman penguasa masih dirasakan ulama itu. Saat Baghdad dikuasai Bani Abbasiyah, atau tepatnya Pemerintahan Khalifah Abu Ja’far al-Manshur, sang imam dipanggil ke istana. Imam Abu Hanifah yang sudah menua pun datang. Dia kembali ditawari jabatan qadi seperti dari pemerintahan sebelumnya. 

Abu Hanifah pun kembali menolak tawaran itu. Akibatnya, dia ditangkap dan dijebloskan kembali ke penjara. Di hadapan sang imam, Abu Ja’far berkata, “Adakah engkau telah suka dalam keadaan seperti itu?”

Sang imam lantas menjawab pertanyaan tersebut. “Semoga Allah memperbaiki Amirul Mukminin! Wahai Amirul Mukminin, takutlah engkau kepada Allah dan janganlah engkau bersekutu dalam kepercayaan engkau dengan orang yang tidak takut kepada Allah! Demi Allah, saya bukanlah orang yang bisa dipercaya di waktu tenang. Maka, bagaimana mungkin saya menjadi orang yang bisa dipercaya di waktu marah? Sungguh, saya tidak sepatutnya diberi jabatan yang sedemikian itu!” 

“Kamu berdusta! Karena kamu patut memegang jabatan itu!” Kata sang khalifah.

“Ya Amirul Mukminin! Sesungguhnya baginda telah menetapkan sendiri bahwa saya seorang pendusta. Jika saya benar, maka saya telah menyatakan bahwa saya tidak patut menjabat itu. Dan jika saya berdusta, maka bagaimana baginda akan mengangkat seorang hakim yang berdusta? Di samping itu, saya ini adalah seorang hamba yang dipandang rendah oleh bangsa Arab. Dan mereka tidak akan relah diadili oleh seorang golongan hamba seperti saya ini!” 

Melihat keteguhan Imam Abu Hanifah, sang khalifah pun memanggil ibundanya untuk membujuknya kembali. Ibunya berkata, “Wahai Nu’man! Anakku yang kucintai, buang dan lemparkan jauh-jauh pengetahuan yang telah engkau punya ini. Melainkan penjara, pukulan cambuk dan kalung rantai besi!” 

Perkataan tersebut hanya dijawab oleh sang imam dengan lembut. “Oh ibu, jika saya menghendaki kemewahan hidup di dunia ini, tentu saya tidak dipukul dan tidak dipenjara. Tetapi, saya menghendaki akan keridhaan Allah semata-mata dan memelihara ilmu pengetahuan yang telah saya dapati. Saya tidak akan memalingkan pengetahuan yang selama ini saya pelihara kepada kebinasaan yang dimurkai Allah.” (Roni Haldi Alimi: Tetes-Tetes Kesturi Aulia)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement