Jumat 19 Mar 2021 02:25 WIB

Menteri PPPA: Perkawinan Anak Bentuk Pelanggaran HAM

Menteri PPPA sebut perkawinan anak merupakan bentuk tindak kekerasan terhadap anak

Rep: Andrian Saputra/ Red: Esthi Maharani
Menteri Pemberdayaan Perempuan, I Gusti Ayu Bintang Darmawati
Foto: Dok. Web
Menteri Pemberdayaan Perempuan, I Gusti Ayu Bintang Darmawati

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan tujuan perkawinan adalah membentuk rumah tangga bahagia yang kekal. Tetapi hal itu tidak bisa terpenuhi bila yang melakukan perkawinan adalah masih berusia anak. Karena itu menurutnya diperlukan pendewasaan usia perkawinan agar lebih matang dan siap dalam memasuki jenjang perkawinan.

"Pendewasaan usia perkawinan pada hakikatnya adalah menyadari tidak menikahkan anak pada usia anak. Dan perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak. Karena hak anak adalah bagian dari HAM. Maka perkawinan anak juga bentuk pelanggaran HAM," kata Ayu Bintang saat memberikan sambutan dalam seminar nasional dan deklarasi gerakan nasional pendewasaan usia perkawinan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang berlangsung di Gedung MUI pusat, Jakarta pada Kamis (18/3).

Ayu mengatakan anak yang dipaksa menikah, atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah usia 18 tahun akan memiliki kerentanan yang lebih besar baik dalam  akses pendidikan, kualitas kesehatan, potensi mengalami tindak kekerasan serta hidup dalam kemiskinan. Menurutnya dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan. Namun juga akan berdampak pada anak yang dilahirkan, serta berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi.

"Itulah sebabnya kita merevisi undang-undang no 1 tahun 1974 menjadi undang-undang no 16 tahun 2019 perubahan usia minimum perkawinan tidak hanya ditingkatkan bagi perempuan tapi juga telah mengakomodasi prinsip kesetaraan dan juga bentuk afirmasi yang progresif yaitu menjadi 19 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Tentunya dengan harapan minimal akses anak perempuan terhadap pendidikan kesehatan dan pekerjaan yang layak akan lebih terbuka lebar," katanya.

Lebih lanjut Ayu Bintang mengatakan banyak persoalan yang dihadapi pemerintah terkait tingginya praktik perkawinan anak di Indonesia yang belum dipahami oleh sebagian orang tua dan keluarga yang dampaknya akan meninggalkan generasi lemah dan pada akhirnya merugikan banyak pihak. Berdasarkan data,  angka nasional perkawinan anak pada 2018 sebesar 11,21 persen dan turun menjadi 10,82 persen pada 2019. Di 2019, ada 22 Provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka rata-rata nasional.

Menurut Ayu walau secara rata-rata nasional angka perkawinan anak menurun namun jika dibandingkan antara data 2018 dan 2019  terdapat kenaikan angka perkawinan anak di 18 provinsi. Hal itu menurutnya perlu menjadi perhatian bagi pemerintah daerah untuk lebih berkomitmen dalam menurunkan angka perkawinan anak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement