Kamis 11 Mar 2021 07:00 WIB

Arkeolog Pertanyakan Data 'Harta Karun' Kapal Karam RI

Badan Riset Kelautan dan Perikanan mengeklaim ada 460 Titik Kapal Karam

Kapal karam, ilustrasi
Foto: Travelog
Kapal karam, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perairan Indonesia diklaim menyimpan harta muatan dari kapal karam ratusan tahun lalu. Baik Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Kebudayaan Dunia PBB (UNESCO), sampai ke pemerintahan Cina menilai ada banyak sekali kapal karam di dasar laut Nusantara. Namun benarkah demikian?

Soal harta karun kapal karam mencuat menyusul beleid UU Cipta Kerja  dan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021. Di dalam aturan tersebut mengatur soal izin investasi barang muatan kapal tenggelam (BMKT). Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan asing boleh masuk dan berinvestasi dalam mencari harta karun dari muatan kapal karam zaman dahulu di Indonesia. Sebelumnya izin ini ditutup untuk investor asing.

Baca Juga

Namun, ahli arkeologi menilai pembukaan investasi asing untuk mengangkut BMKT tidak sesuai dengan aturan UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Ahli arkeologi bersikeras, benda cagar budaya bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan, terkait dengan kegiatan mencari 'harta karun' kapal tenggelam, lalu melelangnya di dalam negeri atau dibawa ke luar negeri.

Hal ini dibahas dalam webinar 'Nasib Warisan Budaya di Laut dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2021', Rabu (10/3). Berbicara dalam webinar tersebut para ahli arkeologi dari Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid, sejumlah anggota tim ahli cagar budaya, pengajar hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta Prof Endang Sumiarni, dan Sekjen Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Muatan Kapal Tenggelam Indonesia (APPP BMKT), Harry Satrio.

Anggota IAAI senior yang juga mantan direktur Direktorat Peninggalan Arkeologi Bawah Air Kemendikbud, Surya Helmi, menilai data soal potensi kapal karam di Indonesia harus dikritisi lagi. Sebab, kata Helmi, dari penelusurannya di lapangan titik data tersebut sering kali kosong. "Atau malah sudah dijarah," kata dia, Rabu. 

Helmi lalu memaparkan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeklaim ada sekitar 460 titik lokasi kapal karam di perairan Nusantara. Kemudian dari laporan UNESCO disebutkan ada lebih dari 5.000 kapal karam di Asia Tenggara. Laporan tersebut menyatakan sekitar 10 persen dari kapal karam itu ada di perairan Indonesia. 

"Saya pernah diberitahu, saat saya ke Cina, oleh salah satu pejabat museum di sana, bahwa antara abad ke-10 Masehi sampai ke-20 Masehi, ada ribuan kapal dari Cina berlayar ke Nusantara, tapi tidak pernah kembali," kata Helmi. Dipercaya, kapal tersebut karam di dasar laut Indonesia.

Menurut Helmi, muatan kapal karam zaman dahulu itu adalah cagar budaya yang harus dilestarikan dan diteliti lebih lanjut. Pemanfaatannya bagi publik, terutama dari sisi riset amat penting. Ia menyayangkan eksploitasi yang tidak terpantau dan tidak terkendali atas muatan kapal karam tersebut. 

Masalahnya kemudian, lanjut Helmi, dari penelusuran Direktorat Peninggalan Arkeologi Bawah Air beberapa tahun lalu, titik titik yang disebutkan sempat dicek namun ternyata kebanyakan kosong. "Atau malah sudah dijarah," katanya, dengan nada gusar. 

Dijarah maksudnya adalah ada pihak selain pemerintah dan perusahaan yang memiliki izin pengangkatan BMKT, menemukan titik harta karun tersebut, mengangkatnya secara ilegal dan menjualnya, atau membawanya ke luar negeri. 

Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid juga mempertanyakan soal penegakkan hukum atas pengambilan BMKT secara ilegal di perairan Indonesia ini. Menurut dia, salah satu titik perhatian soal BMKT memang dari sisi aparat yang menjaga. 

Sekjen Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Muatan Kapal Tenggelam Indonesia (APPP BMKT), Harry Satrio, menambahkan ia pernah melihat sendiri pengangkatan harta karun kapal karam ilegal di Kepulauan Riau. "Kami prihatin, setiap hari terjadi pencurian BMKT di sana, terutama akhir pekan. Cukong cukong bayar nelayan," kata Harry.

Nelayan tersebut dibayar untuk diminta menunjukkan titik lokasi kapal karam. Kemudian nelayan dan pihak lain dibayar untuk menyelam dan mengambil harta muatan kapal karam tersebut. Tanpa ada penelitian terlebih dahulu atau diawasi oleh arkeolog yang mengerti konteks sejarah kapal karam tersebut. 

Masalah tidak berhenti sampai di sini, karena kemudian, ternyata pemerintah belum memiliki satu lembaga pun yang mengatur soal cagar budaya, termasuk yang di dalam laut. Sehingga pengaturan riset dan pemanfaatannya serta pengawasannya menjadi tumpang tindih antara Kemendikbud dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement