Selasa 09 Mar 2021 09:56 WIB

Integrasi Zakat Wakaf dan Sistem Pembayaran Digital

Zakat dan wakaf memiliki potensi besar berperan aktif dalam pembangunan nasional.

Ilustrasi Wakaf
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Wakaf

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Wahyudi Indrawan (Peneliti pada Waqf Center for Indonesian Development and Studies (WaCIDS)

Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia memiliki potensi yang besar. Secara modal sosial, institusi sebagai masjid, pondok pesantren, dan organisasi masyarakat (ormas) Islam bukan hanya dapat berfungsi sebagai institusi yang bergerak di bidang dakwah dan pendidikan semata, namun sebetulnya dapat berfungsi sebagai lembaga yang merekatkan masyarakat dengan ikatan komunal. 

Hal ini dapat terwujud jika praktik keagamaan yang diselenggarakan dapat berjalan dengan optimal. Selain shalat dan kegiatan kajian agama, praktik zakat dan wakaf yang optimal juga dapat menjadi sarana untuk merekatkan masyarakat. 

Zakat dan wakaf dapat memperkuat ikatan sosial di antara masyarakat sebab pada dasarnya keduanya adalah instrumen yang memungkinkan terjadinya redistribusi harta, yakni berpindahnya harta dari golongan yang berkecukupan kepada golongan yang membutuhkan dan didasari semangat religiusitas yang besar. 

 

Optimalisasi zakat dengan penyaluran pada mustahik akan dapat menjaga daya beli masyarakat miskin dari sisi penyediaan kebutuhan dasarnya. Sementara optimalisasi wakaf dengan pengelolaan secara produktif akan memperkuat perekonomian dari sisi investasi dengan dampak yang tidak hanya bersifat ekonomi, namun juga sosial, religius, dan lingkungan.

Zakat dan wakaf memiliki potensi yang besar untuk berperan aktif dalam pembangunan nasional. Riset Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Islamic Research and Training institute (IRTI) pada tahun 2012 lalu menyatakan bahwa potensi zakat Indonesia bisa mencapai Rp 217 triliun per tahun. Sementara potensi wakaf di Indonesia, menurut Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagaimana rilis Badan Kebijakan Fiskal (BKF) RI ialah mencapai Rp 180 triliun per tahun. 

Akan tetapi, realisasi dari potensi di atas masih menjadi tantangan, baik bagi zakat maupun wakaf. Penerminaan zakat yang dicatat oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada tahun 2019 tercatat baru mencapai 10,2 triliun. Adapun penerimaan wakaf, tidak ada data pasti yang direkapitulasi di tingkat nasional. Namun demikian, pengumpulan dana Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) seri SWR0001 berhasil mengumpulkan setidaknya Rp 50,8 miliar. Sementara itu, gerakan wakaf uang untuk ASN Kementerian Agama RI telah mengumpulkan dana sekitar Rp 4 miliar pada awal tahun 2021. Hal ini menunjukkan bahwa baik pengumpulan zakat maupun wakaf di Indonesia masih jauh dari potensi besarnya.

Berangkat dari hal di atas, penulis melihat bahwa ke depan, BAZNAS dan BWI harus mulai lebih serius di dalam upaya penguatan digitalisasi zakat dan wakaf nasional. Fenomena digitalisasi yang semakin pesat, didorong oleh inovasi teknologi informasi yang terus berkembang dan perubahan perilaku konsumen mengharuskan setiap pelaku ekonomi dan juga pegiat sosial untuk beradaptasi. Hal ini juga berlaku bagi pengelola zakat dan wakaf, atau yang masing-masing dikenal sebagai amil dan nazhir. 

Salah satu bentuk digitalisasi ini adalah integrasi zakat dan wakaf dalam sistem pembayaran digital. Hal ini sejalan dengan prioritas Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas sistem pembayaran yang menargetkan bahwa pada tahun 2021, ada peningkatan jumlah merchant Quick Response Indonesian Standard (QRIS), yakni QR-code sistem pembayaran Indonesia yang saat ini telah berjumlah 6 juta merchant menjadi 12 juta merchant. Untuk mencapai target tersebut, maka lembaga amil zakat dan nazhir wakaf perlu didorong untuk memulai proses digitalisasi, setidaknya pada proses pembayaran zakat dan wakaf. 

Apabila sinergi antara zakat, wakaf, dan sistem pembayaran QRIS dapat terwujud, maka diharapkan pembayaran zakat dan wakaf dapat menjadi lebih efisien dan dapat menjangkau segmen masyarakat, khususnya generasi muda yang telah memiliki kecukupan finansial dan melek teknologi. Selain sistem pembayaran dari sisi muzakki/wakif, penerima zakat (mustahik) dan wakaf (mauquf ‘alaih) juga perlu didorong untuk dapat ikut dalam sistem ini, setidaknya dengan memiliki rekening perbankan sehingga pembayaran hak atas zakat dan manfaat pengelolaan wakaf dapat dilakukan secara digital dan ini juga merupakan bagian dari inklusi keuangan pada segmen masyarakat yang selama ini termarjinalkan. 

Selain juga akan memperkuat sistem pembayaran digital nasional, integrasi QRIS dengan sistem zakat dan wakaf juga memungkinkan otoritas zakat dan wakaf untuk memiliki big data zakat dan wakaf nasional sehingga analisis perilaku masyarakat dalam berzakat dan berwakaf, lalu lintas dana zakat dan wakaf serta pemetaan potensi, realisasi, dan program zakat wakaf nasional dapat dilakukan secara lebih cepat sehingga kebijakan yang diambil otoritas (BAZNAS dan BWI) dapat menjadi lebih baik. Ini juga sejalan dengan kerjasama antara BI, BAZNAS, dan BWI yang dicanangkan pada 2018 lalu dalam hal penguatan basis data zakat dan wakaf nasional.

Oleh karena itu, ke depannya sinergi antara BI, BAZNAS, dan BWI di tingkat pusat serta Kantor Perwakilan BI di dalam negeri (KPwDN) dengan lembaga amil zakat dan nazhir wakaf di daerah perlu diperkuat, khususnya mengenai sinergi dalam sistem pembayaran digital dan pengenalannya kepada masyarakat. Sudah saatnya bukan zakat dan wakaf bukan lagi sekedar berdonasi, namun juga menjadi bagian dari gaya hidup religius di era digital.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement