Sabtu 06 Mar 2021 11:54 WIB

Perjalanan Bersejarah Paus Fransiskus ke Irak

Pertemuan Paus dan Ali al-Sistani menjadi catatan penting dalam sejarah bagi Irak

Rep: Puti Almas/ Red: Esthi Maharani
 Paus Fransiskus disambut oleh Presiden Irak Barham Salih, di sebelah kanan, di Istana Kepresidenan Baghdad, Irak, Jumat, 5 Maret 2021. Paus Fransiskus telah tiba di Irak untuk mendesak jumlah umat Kristen yang semakin berkurang di negara itu untuk tetap tinggal dan membantu membangun kembali negara itu setelah bertahun-tahun perang dan penganiayaan, mengesampingkan pandemi virus corona dan masalah keamanan.
Foto: AP / Andrew Medichini
Paus Fransiskus disambut oleh Presiden Irak Barham Salih, di sebelah kanan, di Istana Kepresidenan Baghdad, Irak, Jumat, 5 Maret 2021. Paus Fransiskus telah tiba di Irak untuk mendesak jumlah umat Kristen yang semakin berkurang di negara itu untuk tetap tinggal dan membantu membangun kembali negara itu setelah bertahun-tahun perang dan penganiayaan, mengesampingkan pandemi virus corona dan masalah keamanan.

IHRAM.CO.ID, BAGHDAD — Pertemuan bersejarah terjadi antara Paus Fransiskus dan Ali al-Sistani, seorang pemimpin spritual Muslim Syiah di Irak. Momen ini telah membawa harapan dari jutaan orang di seluruh dunia untuk hubungan yang lebih baik antar umat beragama.

Pertemuan singkat Paus Fransiskus dan Ali al-Sistani digelar di Najaf pada Sabtu (6/3). Ini menjadi catatan penting dalam sejarah bagi Irak, di mana negara itu telah mengalami beragam konfik dan kekerasan sektarian.

Perjalanan luar negeri pertama Paus Fransiskus sejak merebaknya pandemi virus corona jenis baru (Covid-19) dan kunjungan kepausan pertama ke Irak juga menawarkan momen kebanggaan nasional bagi warga di negara itu. Ini sekaligus menjadi kesempatan langka untuk menjadi pemberitaan internasional yang positif.

"Saya rindu bertemu dengan Anda, melihat wajah Anda, mengunjungi tanah Anda, tempat lahir peradaban kuno dan luar biasa.Saya tiba di antara Anda sebagai peziarah perdamaian, untuk mengatakan Anda semua adalah saudara,” ujar Francis menjelang kunjungannya ke Irak, seperti dilansir NBC News, Sabtu (6/3).

Kunjungan Paus Fransiskus dinilai sangat berisiko di tengah pandemi Covid-19, serta situasi tidak kondusif di Irak, seperti adanya serangan di pangkalan udara Ain al-Asad, wilayah barat laut Baghdad pada awal pekan ini. Meski demikian, dorongan moral sangat dibutuhkan, di mana negara Timur Tengah itu masih berjuang untuk kembali pulih pasca invasi Amerika Serikat (AS) pada 2003.

Sejak invasi AS 2003, Irak dilanda kekacauan, dengan banyaknya konflik sektarian yang terjadi, serta perekonomian negara memburuk. Situasi semakin memburuk bagi masyarakat sipil di negara itu saat pandemi Covid-19, di mana harga minyak menjadi semakin rendah dan ketegangan antara Iran dan Amerika yang juga berpengaruh.

“Saya senang karena seorang tokoh penting  akan mengunjungi Irak. Kami sangat perlu hidup sebagai satu umat, tidak peduli agama atau sekte mana yang kami ikuti, kunjungan Paus Fransiskus akan membantu memperkuat persatuan diantara warga Irak,” jelas Miqdad Radhi, seorang umat Muslim Syiah di Ibu Kota Baghdad.

Paus Fransiskus telah menghabiskan bertahun-tahun dalam upaya memperbaiki hubungan antara umat Nasrani dan Muslim. Pertemuan dengan Al-Sistani akan menjadi salah satu yang terpenting dengan seorang pemimpin Muslim Syiah.

Sebelumnya, Paus Fransiskus dikenal memiliki hubungan baik dengan pemimpin Muslim Sunni terkemuka, Sheikh Ahmed el-Tayeb yang juga merupakan seorang imam besar di Al-Azhar, Mesir. Pada 2019, keduanya menandatangani dokumen persaudaraan.

“Selama beberapa tahun terakhir, Paus Fransiskus memang sangat bertekad untuk membangun apa yang kita sebut aliansi agama antara Kristen dan Islam.Aliansi ini sebenarnya terdiri dari menjalin ikatan persahabatan dan kepercayaan dengan para pemimpin Muslim,”  kata Austen Ivereigh, penulis biografi Francis dan seorang rekan dalam sejarah gereja kontemporer di Universitas Oxford.

Saat menjadi uskup agent di Buenos Aires, Argentina, Paus Fransiskus membangun hubungan yang kuat dengan para pemimpin Muslim. Hingga kemudian di Vatikan, Italia, pria berusia 84 tahun itu bekerja untuk membangun aliansi Kristen-Muslim sebagai cara untuk memerangi siklus terorisme Islam dan reaksi populis nasionalis.

Sementara itu, Al-Sistani juga menyerukan perdamaian dan dialog antar-agama. Menurut Hayder al-Khoei, direktur hubungan luar negeri di Institut Al-Khoei, sebuah akademi seminari dan antaragama yang berbasis di Najaf, sosok yang dikenal sebagai ayatollah agung Irak ini tanpa keraguan memeluk semua orang yang menjadi korban dalam serangan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Tidak peduli apa keyakinan para korban, Al-Sistani tak merasa ragu untuk bersama-sama merangkul mereka. Peran dari pria berusia 90 tahun ini lebih informal dibandingkan Paus Fransiskus dan dikenal sebagai pemimpin agama yang tertutup.

Namun Al-Sistani memiliki suara yang kuat dan berpengaruh di Irak. Ia telah membangun basis pengikut yang kuat di negara mayoritas Muslim Syrah dan sekitarnya.

Al-Sistani telah mewakili pemikiran Syiah yang menentang pemerintahan langsung para ulama. Thaer al-Saidy, seorang mahasiswa di lembaga keagamaan di Najaf yang dikenal sebagai Hawza dan mengatakan bahwa ayatollah agung adalah bapak spiritual dari semua orang Irak terlepas dari keyakinan mereka.

Pada 2014, Al-Sistani pernah mengeluarkan perintah bagi semua warga Irak yang berbadan sehat untuk mengangkat senjata melawan ISIS. Ini menjadi langkah yang secara luas dipandang penting dalam membantu membalikkan arus untuk melawan para militan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement