Jumat 05 Mar 2021 07:18 WIB

Allah, Alam Semesta, dan Kereta Api

Ada hikmah jika dikaitkan dengan buku Kiai Said berjudul Allah dan Alam Semesta.

Jalur hilir kereta api (KA) antara Stasiun Kedunggedeh - Stasiun Lemahabang, Kab Bekasi, sudah dapat dilewati oleh semua kereta api setelah sebelumnya tergerus banjir.
Foto: dok PT KAI
Jalur hilir kereta api (KA) antara Stasiun Kedunggedeh - Stasiun Lemahabang, Kab Bekasi, sudah dapat dilewati oleh semua kereta api setelah sebelumnya tergerus banjir.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Rakhmad Zailani Kiki; Sekretaris RMI-NU DKI Jakarta, Sekretaris Umum Barisan Ksatria Nusantara (BKN)

Ketika berita Ketua Umum PBNU Prof Dr KH Said Aqil Siroj diangkat menjadi komisaris utama dan komisaris independen PT Kereta Api Indonesia (KAI) viral, saya meresponsnya dengan tertawa kecil, sekaligus membuat saya merenung. Dari hasil perenungan saya yang merupakan hasil kajian dengan pendekatan tasawuf falsafi, atas jabatan baru Kiai Said ini, membuat saya kagum.

Saya tertawa kecil karena sepanjang mengikuti berita tentang Kiai Said, sudah sering ditawari jabatan oleh pemerintah dengan berbagai jabatan yang lebih hebat dari komisaris sebuah BUMN, tapi selalu ditolak. Kok ini, jabatan komisaris sebuah BUMN, malah beliau terima.

Terlebih, teristimewa, selain tokoh terkenal yang memimpin ormas Islam terbesar di dunia, Kiai Said juga masuk jajaran Muslim yang berpengaruh kelas dunia, yang urusan ekonominya sudah selesai. Apalagi Kiai Said menyatakan sendiri bahwa gajinya sebagai komisaris di PT KAI akan disedekahkan. Lalu, untuk apa jabatan komisaris utama dan komisaris independen tersebut beliau terima?

Setelah saya renungi dan kaji, saya mengerti dan saya kagum dan berterima kasih dengan Kiai Said, walau ini subjektif, bukan menurut beliau, tapi menurut saya: KH Said Aqil Siroj menerima jabatan komisaris utama PT KAI bisa ditemukan hikmahnya, jika dikaitkan dengan buku karyanya yang berjudul "Allah dan Alam Semesta".

Jadi, melihat penerimaan jabatan komisaris oleh KH Said Aqil Siroj tesebut, sekali lagi menurut saya, jangan dilihat dari dimensi materialistik, tapi di dimensi sufistik. Loh kok begitu, apa alasannya?

Alasan utamanya, sederhana saja: Kiai Said adalah pakar dalam bidang tasawuf falsafi, maka saya menggunakan pendekatan tasawuf falsafi atas jabatannya sebagai komisaris utama PT KAI, perusahaan milik pemerintah yang mengoperasikan kereta api, sebuah kendaraan yang memiliki metofara sufistik yang terkait dengan dua diksi dari judul bukunya: "Allah dan Alam Semesta".

Dalam penjelasan sufistik, misalnya, dari kosmologi Ibnu Arabi berdasarkan ajarannya tentang wahdatul wujud (kesatuan wujud yang transenden) bahwa sesungguhnya hanya satu realitas wujud, satu realitas, dan semua yang lain hanyalah refleksi dari nama-nama dan sifat-sifat Allah di atas cermin noneksistensi.

Dan alam semesta, makrokosmos, dan juga manusia, mikrokosmos, sejak awal tercipta berada dalam rel ketetapan-Nya. Dalam penjelasan seorang ulama sufi Betawi, KH Abdurrahim Radjiun bahwa makrokosmos dan mikrokosmos ini selalu berada dalam kapsul atau gerbong rahmat Allah SWT dengan Nur Muhammad SAW sebagai lokomotifnya untuk terus berjalan menuju atau kembali kepada Allah SWT.

Metafora kehidupan manusia seperti sebuah perjalanan kereta api dengan pendekatan sufistik juga saya dapatkan dari KH Hasyim Adnan, tokoh dakwah Jakarta, penceramah ulung, mentor banyak para dai dan daiyah, dan tokoh di LDPBNU pada masanya.

Pada suatu hari, KH Hasyim Adnan mengajak anak pertamanya, Rahmatun Nazilah, ke stasiun kereta api. Dia mengatakan kepada putrinya bahwa orang-orang di stasiun kereta api ini tadinya bersama-sama dalam satu kereta api, tapi kemudian mereka berpisah ketika tiba di stasiun kereta api tujuan, ada yang turun di Karawang, Cirebon, dan lain-lain.

Begitulah manusia hidup, tidak bisa selamanya bersama, tentu ada saatnya untuk berpisah, kembali kepada-Nya, kepada Allah SWT.

Kesimpulannya, andaikata KH Said Aqil Siroj menolak jabatan komisaris utama PT KAI dan beritanya tidak viral sampai ke saya juga, tentu saya lalai, lupa akan hikmah terhadap moda transportasi kereta api dalam pendekatan tasawuf falsafi. Padahal saya sering naik kereta api. Kalau sudah tahu hikmah begini, naik kereta api lebih bermakna ibadah dan tentu berpahala buat saya.

Terima kasih KH Said Aqil Siroj, terima kasih PT KAI!

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement