Kamis 04 Mar 2021 11:04 WIB

Komitmen Budaya Mutu Sekolah/Madrasah

Akreditasi sekolah/madrasah merupakan bentuk komitmen budaya mutu.

Dr Iu Rusliana, Anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Jawa Barat.
Foto: dok pri
Dr Iu Rusliana, Anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Dr Iu Rusliana  (Anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah Jawa Barat)

Sebuah sekolah swasta di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mengajukan permohonan pengunduran diri dari kegiatan akreditasi 2021 kepada Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-SM) Jawa Barat pada 18 Februari 2021 dengan alasan ketidaksiapan dalam banyak hal. Tahun lalu, kasus serupa pernah terjadi pula.

Rupanya masih ada sekolah memahami akreditasi sebagai paksaan dan memberatkan. Padahal akreditasi itu kewajiban undang undang, upaya menjamin mutu eksternal sebuah institusi pendidikan. Dengan penjaminan mutu internal dan eksternal, institusi pendidikan seperti sekolah/madrasah akan dipastikan memberikan layanan pendidikan sesuai standar nasional pendidikan. Apa jadinya jika sebuah institusi pendidikan itu memberikan layanan di bawah standar. 

Faktanya, masih banyak sekolah/madrasah yang tidak terakreditasi, atau baru di level C (cukup) juga B (baik). Padahal peringkat akreditasi unggul (A) itu artinya baru memenuhi standar nasional pendidikan. Bagaimana dengan persaingan mutu pendidikan di tingkat regional dan global?

Selama ini, akreditasi dirasa memberatkan boleh jadi karena empat hal. Pertama, sekolah/madrasah belum menjadikan pembudayaan mutu dalam semua aktivitas harian. Mendadak menyiapkan segala sesuatunya. Padahal apabila dipersiapkan jauh-jauh hari, menjadi kegiatan pembudayaan mutu harian, tak perlu biaya tambahan dan kegiatan diada-adakan. Karena mendadak, tiba-tiba ada biaya cetakan, pengerjaan dokumen mirip Sangkuriang, semalaman. Biaya lembur persiapan membengkak, semuanya lelah. 

Kedua, kerap memberikan fasilitasi berlebihan, padahal lakukanlah secukupnya saja. Asesor yang bertugas visitasi telah diberikan dana untuk menginap dan lainnya. Walau harus diakui jumlahnya masih kecil, tapi kan tujuannya untuk bertugas, bukan hendak liburan.

Pernah dalam satu tugas monitoring, ada asesor yang bersedia menginap di rumah kepala sekolah. Sebagai bagian dari fasilitasi yang cukup sederhana, tidaklah mengapa dan ternyata cukup banyak asesor yang bersedia, tidak harus di hotel. 

Ketiga, adanya upaya oknum asesor dan pihak sekolah untuk bekerjasama saling menguntungkan. Transaksional jadinya, bahkan difasilitasi pihak tertentu, misalnya oknum pengawas pembina. 

Keempat, terlibatnya oknum di dinas pendidikan atau forum kepala sekolah untuk mengkoordinir, memfasilitasi kegiatan akreditasi dengan dalih menghormati tamu. Tentu saja, bagi pihak tertentu, hasil akreditasi itu secara politis menunjukkan kinerjanya di mata kepala daerah.

BAN SM terus berusaha melakukan pembinaan baik dalam sejumlah pembekalan persiapan, pelatihan juga proses pemantauan, menindaklanjuti berbagai temuan dan memberikan sanksi kepada oknum asesor dan pihak sekolah. Pada 2019 misalnya, di Jawa Barat, ada 20 sekolah yang dinyatakan tidak terakreditasi, dan 40 asesor yang tidak diberikan lagi penugasan. Tahun sebelumnya pun demikian, tingkat sanksi diberikan, mulai dari tidak diberikan penugasan selama 1 tahun, 2 tahun bahkan tidak diberikan sama sekali. 

Reformasi Akreditasi

Dari sisi sistem, reformasi akreditasi digulirkan BAN SM sejak tahun 2020. Dimulai dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1005/P/2020 tentang Kriteria dan Perangkat Akreditasi Pendidikan Dasar dan Menengah. Instrumen baru ini berusaha mengukur kinerja (performance), bukan sekedar mengukur pemenuhan persyaratan saja (compliance).

Model bisnis dan manajemen akreditasi pun dibenahi. Perubahan mendasarnya antara lain adanya proses akreditasi otomatis bagi yang mutunya terjaga, terpantau melalui Sistem Monitoring Sekolah/Madrasah Terakreditasi secara online. Sementara, visitasi secara daring ataupun luring dilakukan karena adanya permohonan reakreditasi. 

Selain itu, karena sekolah/madrasah tersebut baru dan belum terakreditasi, sementara telah ada kelas akhir yang akan lulus. Laporan masyarakat terkait mutu dan adanya indikator kinerja yang tidak konsisten juga menjadikan sekolah/madrasah divisitasi. 

Akreditasi itu kewajiban karena diatur oleh Undang Undang 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Kriterianya itu ada dalam standar nasional pendidikan yang dalam Undang Undang 20 tahun 2003 disebutkan dalam Bab IX Pasal 35. Secara terperinci diatur dalam peraturan turunannya.

Sementara akreditasi diatur dalam pasal 60. Pada poin 2, disebutkan bahwa akreditasi terhadap program dan satuan pendidikan dilakukan pemerintah dan/ atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik. Dalam hal ini, untuk sekolah/madrasah oleh BAN-SM. 

Tentu saja, di atas soal kewajiban, hal yang lebih esensial, akreditasi merupakan komitmen budaya mutu. Dimana pemangku kepentingan baik itu orang tua, siswa dan masyarakat mendapatkan jaminan layanan pendidikan sesuai standar.

BAN SM menyatakan bahwa sekolah baru yang sudah meluluskan atau memiliki siswa di kelas akhir akan menjadi sasaran 2021. Bagi sekolah dan madrasah yang tidak mau bahkan menolak diakreditasi, akan tetap menjadi sasaran dan ditugaskan asesor untuk memvisitasi. Jika tetap tidak mau, akan ditetapkan tidak terakreditasi (TT). Bahkan bilamana dinilai tidak layak, akan direkomendasikan untuk  ditutup kepada pihak dinas atau kantor kementerian Agama terkait.

Akreditasi sekolah/madrasah merupakan bentuk komitmen budaya mutu. Terkait erat dengan layanan bermutu kepada pemangku kepentingan. Pencapaian nilai A (unggul) adalah titik awal telah terpenuhi standar nasional pendidikan. Tugas selanjutnya melampaui itu untuk meningkatkan mutu pendikan sekolah madrasah di tingkat regional bahkan global. 

Seluruh pemangku kepentingan pendidikan hendaknya menyadari pentingnya komitmen budaya mutu. Menjadikan akreditasi sebagai kebutuhan untuk mengukur, seberapa tinggi terpenuhinya mutu pendidikan di lembaga yang dikelola. Tentu masih banyak hal yang perlu dibenahi, tapi jauh lebih utama memastikan pengelolaan sekolah/madrasah berdasarkan budaya mutu. 

Ini pekerjaan rumah yang masih cukup berat, tapi sinergi semua pihak dengan komitmen awal ini dapat menjadi langkah kuat di masa depan. Secara individual, bagi seluruh pihak terkait, termasuk asesor, bekerja untuk membangun mutu pendidikan lebih baik adalah amal saleh yang kebaikannya tak akan terputus, sebagaimana dijanjikan Tuhan.

Wallaahu a'lam.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement