Rabu 03 Mar 2021 22:34 WIB

Tradisi Pembacaan Barzanji di Indonesia, dari Mana Asalnya?

Tradisi pembacaan Barzanji sudah sangat melekat di masyarakat Indonesia

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Tradisi pembacaan Barzanji sudah sangat melekat di masyarakat Indonesia. Ilustrasi pembacaan Barzanji
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Tradisi pembacaan Barzanji sudah sangat melekat di masyarakat Indonesia. Ilustrasi pembacaan Barzanji

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA- Salah satu karya sastra Arab yang melegenda dan diterima secara luas oleh umat Islam di dunia adalah 'Iqd al-Jawahir (Untaian Permata), atau yang dikenal dengan Kitab Barzanji karangan Syekh Ja’far Ibnu Hasan Ibnu Abdul Karim Ibnu Muhammad al-Barzanji (1690-1766 M).

Pembacaan kitab Barzanji ini sudah menjadi tradisi di Indonesia, khususnya di kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU). Pembacaan kitab Barzanji ini biasanya dilakukan dalam setiap perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabi’ul Awal.

Baca Juga

Dalam artikelnya yang berjudul “Tradisi, Sunnah & Bid’ah: Analisa Barzanji Dalam Perspektif Cultural Studies”, Wasisto Raharjo Jati menjelaskan bahwa tradisi Barzanji ini sudah ada sejak Nabi Muhammad SAW masih hidup, yang esensinya untuk menghaturkan pujian kepada beliau. 

Menurut dia, tradisi Barzanji ini diperkenalkan tiga penyair resmi Rasulullah Saw, yaitu Hasan Ibnu Tsabit, Abdullah Ibnu Rawahah, dan Ka’ab Ibnu Malik.

Diceritakan dalam riwayat Ibrahim al Bajuri dalam Hasyiyat al-Bajuri ‘ala Matn Qasidah al-Burdah bahwa tradisi pujian kepada Rasulullah SAW ini merupakan tradisi yang perlu didorong dan dilestarikan umatnya agar senantiasa patuh pada Allah SWT dan Rasul-Nya.

Apalagi, Nabi sendiri pernah memuji Ka’ab Ibnu Zuhair yang menggubah qasidah pujian kepadanya. Setelah mendengarkan pujian yang disampaikan oleh Ka’ab, Nabi Muhammad sangat terkesan, sampai-sampai beliau melepas burdahnya dan dikenakan ke tubuh Ka’ab sebagai hadiah sekaligus ungkapan persetujuan.

Menurut Wasisto Raharjo, qasidah pujian yang digarap oleh tiga penyair Rasulullah dan Ka’ab tersebut kemudian menjadi acuan bagi para penyair Muslim ketika berkreasi menciptakan pujian, baik dalam bentuk syair (puisi) maupun nathr (prosa). Hal ini tampak dalam kitab Barzanji, Burdah, dan Syaraf al Anam yang beredar sampai sekarang.

Masuknya tradisi Barzanji ke Indonesia tidak terlepas dari pengaruh orang-orang Persia yang pernah tinggal di Gujarat yang pertama kali menyebarkan Islam di Indonesia.

Namun, pendapat ilmiah yang lain mengatakan bahwa tradisi Barzanji dibawa ulama bermahzab Syafii, terutama Syekh Maulana Malik Ibrahim yang dikenal gurunya Walisongo. 

Wali yang makamnya terletak di Gresik ini berasal dari Hadramaut (Yaman) dan telah menyebarkan Islam di daerah pesisir Sumatra Timur maupun Pantai Utara Jawa.

Setelah itu, seni Barzanji kemudian turut menginsipirasi Sunan Kalijaga untuk menciptakan lagu li-ilir maupun tombo ati yang sangat familier di kalangan pesantren dalam melakukan dakwahnya di kawasan pedalaman Jawa.

Oleh karena itulah, tradisi Barzanji ini kemudian berkembang pesat di kalangan pesantren-pesantren yang tersebar di Jawa Tengah maupun Jawa Timur. Nahdlatul Ulama (NU) dianggap sebagai organisasi pelestari tradisi ini. Mereka percaya bahwa dengan menyanyikan Barzanji pada saat perayaan Maulid Nabi akan memperoleh syafaat Nabi pada hari kiamat kelak.

Dalam sebuah penggalan hadits dikatakan, “Siapa yang menghormati hari lahirku, maka dia akan memperoleh syafaatku pada hari akhir kelak.” 

Dengan adanya pedoman hadits ini, maka kemudian Barzanji marak dilakukan oleh kalangan masyarakat NU pada khususnya. Adapun tradisi Barzanji sendiri kini sudah banyak dilakukan di berbagai kesempatan.

Tidak hanya dalam kegiatan pesantren semata, tradisi ini juga dilakukan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik, misalnya pada saat kelahiran bayi, mencukur rambut bayi (aqiqah), acara khitanan, pernikahan, dan upacara lainnya.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement