Rabu 03 Mar 2021 11:46 WIB

Ibu Jadi TKI Picu Anak Gizi Buruk di Indramayu

Pada 2020, ada sekitar 575 balita di Indramayu yang berstatus gizi buruk.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Bilal Ramadhan
Seorang anak gizi buruk memegang jari ibunya
Foto: EPA-EFE/YAHYA ARHAB
Seorang anak gizi buruk memegang jari ibunya

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU – Ratusan balita di Kabupaten Indramayu pada 2020 lalu mengalami gizi buruk. Penyebab terbanyaknya adalah pola asuh yang salah, termasuk akibat ibunya menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Indramayu, Deden Bonni Koswara, menyebutkan, berdasarkan pendataan pada 2020, jumlah balita di Kabupaten Indramayu mencapai 125.132 balita. Dari jumlah itu, ada 0,46 persen atau sekitar 575 balita yang berstatus gizi buruk.

Selain itu, dari 125.132 balita, tercatat ada 3,8 persen atau 4.755 balita yang berstatus gizi kurang. "Untuk tahun ini, belum diketahui karena penimbangan balita masih berjalan,’’ ujar Deden, Selasa (2/3).

Deden menyebutkan, kegiatan penimbangan balita dilakukan pada Februari dan Agustus. Namun, akibat pandemi Covid-19, kegiatan penimbangan balita tak bisa dilakukan secara serentak.

Deden mengatakan, keberadaan balita berstatus gizi buruk itu penyebab terbanyaknya adalah akibat pola asuh yang tidak tepat. Seperti misalnya, pemberian makanan yang terlalu dini ataupun tidak diberikannya air susu ibu (ASI) ekslusif.

Menurut Deden, pola asuh yang tidak tepat salah satunya dipicu oleh keberangkatan ibu dari ballita tersebut ke luar negeri untuk bekerja sebagai TKI. Akibatnya, balita tersebut diasuh oleh kakek/neneknya, yang tidak memberikan asupan makanan dengan gizi yang adekuat.

Selain pola asuh yang tidak tepat, lanjut Deden, gizi buruk pada balita juga disebabkan adanya penyakit penyerta. Penyakit itulah yang akhirnya membuat balita tersebut menderita gizi buruk.

Deden mengatakan, untuk mengatasi kondisi gizi buruk pada balita, dilakukan melalui program. Hal itu diawali dengan pelatihan kepada dokter umum, dokter anak, tenaga pelaksana gizi, bidan maupun kader untuk menyamakan persepsi mengenai penentuan gizi buruk dan gizi kurang.

Setelah itu, dilakukan penimbangan pada balita setiap Februari dan Agustus. Dari hasil penimbangan itu kemudian diperoleh data mengenai balita yang berstatus gizi buruk, gizi kurang ataupun stanting.

Jika balita tersebut membutuhkan perawatan di rumah sakit, maka akan dirujuk ke rumah sakit. Setelah kondisinya membaik, maka akan dikembalikan ke puskesmas di wilayah masing-masing untuk pemantauannya. "Puskesmas akan terus memantaunya selama tiga bulan,’’ terang Deden.

Sementara itu, kasus gizi buruk di antaranya dialami Uswa Aora Istiqomah, asal RT 05/01 Blok Gempol, Desa Sleman Lor, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu. Di usianya yang kini sembilan tahun, berat badan bocah itu hanya 10 kg.

Tubuh Uswa kurus kering, seperti tulang yang terbungkus kulit. Bocah itu juga tidak bisa berjalan sehingga hari-harinya hanya dihabiskan dengan terbaring.

Uswah tinggal bersama neneknya, Dayuni (57), yang hanya seorang buruh tani. Kedua orang tua Uswah sudah meninggal dunia. Bocah itu telah dirujuk ke RSUD Indramayu untuk menjalani perawatan pada Senin (1/3).

‘’Gizi buruk yang dialami Uswa itu disebabkan oleh penyakit penyerta yang dideritanya,’’ ujar Deden.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement