Ahad 28 Feb 2021 08:27 WIB

Quo Vadis NU Menuju Abad Kedua

NU Menuju Abad Kedua

n program vaksinasi kepada 98 kiyai, ulama, dan tokoh Nahdlatul Ulama, Selasa (23/2).
Foto: Republika/Dadang Kurnia
n program vaksinasi kepada 98 kiyai, ulama, dan tokoh Nahdlatul Ulama, Selasa (23/2).

IHRAM.CO.ID, Oleh Idham Cholid, Ketua Umum Jayanusa; Pembina Komunitas Pedagang Kecil dan Pelaku UMKM Kabupaten Wonosobo

Dua tahun lagi Nahdlatul Ulama (NU) berusia satu abad dalam perhitungan hijriyah. Didirikan pada 16 Rajab 1344 H di Kertopaten, Surabaya, kini NU di penghujung abad kesatu. 98 tahun jam'iyah ini telah meneguhkan hidmahnya, memperkokoh keislaman dan keindonesiaan sekaligus, di tengah kehidupan kebangsaan dan kemasyarakatan dalam arti yang luas. Bahkan dalam relasi global antar bangsa di dunia. 

Saat ini, dalam rangka menyongsong satu abad NU, pun telah diinstruksikan gerakan pengibaran 98 juta bendera NU di seluruh Indonesia. Selama tiga hari, 14-16 Rajab, bertepatan dengan 26-28 Februari. Motif apa lagi, selain untuk memperkokoh soliditas, semakin menguatkan kemandirian jam'iyah dan jamaah sekaligus. 

Lalu, bagaimana organisasi para kiai ini menapaki abad kedua nanti? Ke mana seharusnya arah gerakan jam'iyah, terutama untuk memperkuat jamaah?

 

Meneladani Muassis

"Menyongsong Satu Abad, Meneladani Muassis, Menuju Kemandirian NU" yang diusung sebagai tema Harlah ke-98 kali ini adalah tema besar untuk menjawab berbagai persoalan, sekaligus mewujudkan agenda utama NU.

Saya katakan tema besar, karena di manapun, kemandirian bukanlah persoalan sederhana, bukan sesuatu yang kecil nilainya. Ini merupakan pekerjaan besar. Apalagi berkaitan dengan organisasi terbesar di dunia, dengan 116 juta pengikutnya.

Dan, meneladani muassis adalah kata kunci (keyword) mewujudkan itu semua. Bagi saya, ia menjadi pembuka untuk memasuki "belantara" ke-NU-an, membuka segala rahasia yang ada.

Di NU, sebagaimana kita tahu, ada hal-hal yang bersifat dzahiri, kasat mata dan bisa ditelaah secara rasional. Namun tak sedikit pula yang supra-rasional, melampaui batas kemampuan "ilmiah" kita. Inilah yang saya sebut dengan aspek "batiniyah" jam'iyah.

Terus terang, aspek itulah yang kadang sulit kita cerna dengan logika. Antara lain, dapat kita tangkap faktanya, ketika Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy'ari menerima tanpa "reserve" sebuah ijazah dari gurunya, Syaikhona Kholil Bangkalan, yang diberikan lewat muridnya, KHR As'ad Syamsul Arifin. 

Ijazah itu, berupa (bacaan) wirid asmaul-husna: Ya Jabbar, Ya Qahhar, yang secara khusus telah menjadi "penguat" sikap batin Hadlratus-Syaikh untuk membulatkan tekad mendirikan jam'iyah. 

Apalagi, ijazah itu didapatkan setelah sekian lama melakukan istikharah, memohon petunjuk-Nya. Ya Jabbar berarti Yang Maha Kuat, Maha Gagah, Maha Menundukkan; dan Ya Qahhar berarti Yang Maha Mengalahkan. Adakah, dengan makna ini, keraguan untuk melangkah lebih jauh lagi? Dalam tradisi kiai, ketundukan dan kepatuhan kepada guru adalah "modal" dasar untuk menggapai cita-cita besar.

Sekali lagi, itulah aspek batin, yang menguatkan dari dalam. Adapun sikap dan tindakan nyata yang menjadi fakta historis tak terelakkan adalah gerakan Hadlratus-Syaikh, justru jauh sebelum NU didirikan. Bisa kita sebutkan gerakan Nahdlatul Wathan (1916), Taswirul Afkar, dan  Nahdlatul Tujjar (1918).

Taswirul Afkar, tak lain, meretasnya tradisi intelektual di dalam menjawab berbagai persoalan keumatan dalam perpektif keislaman. Bagaimana saat itu gerakan yang dimotori secara organisasional oleh KH Wahab Hasbullah bersentuhan langsung dengan kolonialisme. Demikian pula dengan Nahdlatul Wathan, menanamkan dan membangkitkan semangat cinta tanah air, hingga resolusi jihad untuk mempertahankan kemerdekaan pada 22 Oktober 1945 yang melahirkan serangan 10 Nopember yang kemudian dikenal sebagai hari pahlawan itu. 

Adapun gerakan Nahdlatut Tujjar, bagaimana mewujudkan kemandirian ekonomi, di saat kolonialisme mengekploitasi seluruh sumber daya yang ada. Tak lain, merupakan kepeloporan di dalam membangkitkan semangat "berwira-usaha" di kalangan para kiai.

Gerakannya konkrit. Hadlratus-Syaikh dan KH. Wahab Hasbullah bersama 43 pedagang memelopori pembentukan Syirkatul 'Inan, disingkat SKN. Yakni, semacam badan usaha koperasi yang bergerak di bidang perdagangan. Masing-masing mengeluarkan modal bersama. Tentu, Hadlratus-Syaikh yang kemudian dipercaya sebagai Ketua, mengeluarkan modal lebih besar. Demikian pula KH. Wahab Hasbullah sebagai Bendahara. 

Modal yang terkumpul itulah yang dibelanjakan barang, kemudian diperdagangkan. Hasilnya, diputarkan kembali. Keuntungannya yang kemudian digunakan untuk modal perjuangan, baik pendidikan, dakwah, maupun untuk fakir miskin. Inilah yang kita kenal dengan "CSR" (Corporate Social Responsibility), tanggungjawab sosial perusahaan, untuk saat ini.

Saya menyebut itu semua sebagai gerakan "perlawanan" terhadap kolonialisme. Jadi, gerakan perlawanan itu tidaklah harus dengan hingar bingar, dan pekik takbir di jalan raya. Tapi harus lihat konteksnya. Gerakan perlawanan kolonialisme di bidang ekonomi, misalnya, dilakukan Hadlratus-Syaikh dengan mengumpulkan para pedagang, merintis usaha bersama, dengan membentuk koperasi sebagai ujung tombaknya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement