Rabu 24 Feb 2021 15:21 WIB

Persekusi Bertubi Warga Palestina di Sekitar Al Aqsa

Otoritas Israel telah berusaha menekan warga yang tinggal di sekitar Al Aqsa

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Esthi Maharani
Orang-orang berdoa di Bukit Zaitun, menghadap ke Masjid Kubah Batu salah satu kompleks Masjid Al Aqsa untuk salat Jumat di Kota Tua Yerusalem, Jumat, 22 Januari 2021. Banyak orang salat di luar gerbang Kota Tua, karena pembatasan virus corona pada berkumpul di kompleks masjid.
Foto: AP/Mahmoud Illean
Orang-orang berdoa di Bukit Zaitun, menghadap ke Masjid Kubah Batu salah satu kompleks Masjid Al Aqsa untuk salat Jumat di Kota Tua Yerusalem, Jumat, 22 Januari 2021. Banyak orang salat di luar gerbang Kota Tua, karena pembatasan virus corona pada berkumpul di kompleks masjid.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Tinggal di dekat kompleks Al Aqsa memiliki berbagai dampak. Mohammed Bashiti merasakan berbagai persekusi Israel yang diterimanya beserta keluarganya. Ia diketahui memiliki rumah yang hanya berjarak satu meter dari Masjid Al-Aqsa.

Mohammed menjelaskan keluarganya memiliki properti di lingkungan al-Sharaf, yang telah di bawah kendali Israel sejak penjajahan di Yerusalem Timur pada tahun 1967. Namun kesempatan tinggal di dekat masjid suci itu tidak bisa dinikmatinya karena anak-anak Mohammed berkali-kali ditangkap Israel.

"Masa kecil mereka ditandai dengan penggerebekan, penyerangan, penangkapan, pemukulan, penyiksaan, pemisahan, dan tahanan rumah," kata Mohammed Bashiti dilansir dari Middle East Eye, Sabtu (20/2).

Tiga anaknya, Hisham, Hatim dan Abdul-Rahman telah menghabiskan sebagian besar waktu mereka di penjara Israel, pusat interogasi, atau di bawah penahanan dan tahanan rumah. Hal ini karena sejak 1980-an, keluarga Mohammed telah menerima tawaran menggiurkan dari Israel untuk rumah mereka. Tetapi karena keluarga itu mempertahankan properti itu, menolak untuk menjual, otoritas Israel telah berusaha menekan mereka.

Putra tertua Mohammed, Hisham yang berusia 20 tahun, telah dipenjara sejak Oktober lalu atas tuduhan melemparkan bom molotov ke pasukan pendudukan di Kota Isawiya, dekat Yerusalem. Anak kedua, Hatim yang berusia tujuh belas tahun adalah yang paling beruntung di antara saudara-saudaranya karena ia dapat bergabung kembali dengan sekolah tahun ini dan mempersiapkan Ujian Umum.

Putra ketiga, Abdul-Rahman, seorang bocah laki-laki berusia 16 tahun yang menderita diabetes sejak ia berusia empat tahun, baru-baru ini secara paksa dipindahkan dari rumahnya di Yerusalem dengan dakwaan yang tidak jelas. Saat ini dia sedang menjalani tahanan rumah wajib di kota Shuafat, sebelah utara Yerusalem.

Pada 2004, Mohammed menggugat Kementerian Agama Israel, menuntut mereka mengembalikan properti yang mereka sita, salah satunya diubah menjadi sinagoga. Namun, karena tingginya biaya kasus dan tekanan besar yang dihadapi keluarga karena tidak adanya dukungan resmi Palestina, Bashitis tidak punya pilihan selain menahan diri untuk tidak melanjutkan kasus ini lebih jauh.

Setelah kasus pengadilan, otoritas pendudukan Israel meningkatkan tekanan mereka pada Muhammad dan mulai lebih sering menyerang rumahnya di Yerusalem.

Pada saat Hisham mencapai usia 13 tahun, tentara Israel dikatakannya juga mulai mengganggunya, seperti yang terjadi kemudian dengan Hatim dan Abdul-Rahman.

"Ketiga anak laki-laki saya dan saudara perempuan mereka Baylasan tidak pernah menikmati masa kecil yang damai," kata Mohammed.

Sebaliknya, masa kecil mereka ditandai dengan penggerebekan, penyerangan, penangkapan, pemukulan, penyiksaan, perpisahan dan tahanan rumah.

"Otoritas pendudukan Israel berusaha untuk menghancurkan mereka karena mereka melakukan sholat di Masjid Al-Aqsa secara teratur dan menjaga hubungan sosial yang baik dengan penduduk Kota Tua, sesuatu yang tidak disukai oleh Israel," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement