Pansus RUU ITE DPR Ingin Hapus Pasal Pencemaran Nama Baik

UU ITE semestinya fokus dalam memberikan payung hukum terhadap transaksi elektronik.

Senin , 22 Feb 2021, 17:32 WIB
Penabuh drum grup musik Superman is Dead (SID) I Gede Ary Astina alias Jerinx menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Kamis (19/11/2020). Majelis Hakim menjatuhkan vonis hukuman satu tahun dua bulan penjara dan denda 10 juta rupiah subsider satu bulan kurungan terhadap Jerinx karena dinilai bersalah dalam kasus ujaran kebencian dan pencemaran nama baik yang dilaporkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali.
Foto: Antara/Nyoman Hendra Wibowo
Penabuh drum grup musik Superman is Dead (SID) I Gede Ary Astina alias Jerinx menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Kamis (19/11/2020). Majelis Hakim menjatuhkan vonis hukuman satu tahun dua bulan penjara dan denda 10 juta rupiah subsider satu bulan kurungan terhadap Jerinx karena dinilai bersalah dalam kasus ujaran kebencian dan pencemaran nama baik yang dilaporkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Bali.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) DPR Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada 2008, M Yasin Kara, mengungkapkan bahwa sesungguhnya pihaknya ingin menghapus pasal tentang pencemaran nama baik dalam undang-undang saat itu, yang kini ada dalam Pasal 27 ayat 3. Namun pemerintah saat itu, beralasan tetap memasukkannya karena belum adanya dasar hukum terkait hal tersebut.

"Pansus (RUU) ITE DPR RI dalam proses pembahasannya meminta agar pasal tersebut dihapuskan. Namun, berbagai alasan seperti belum adanya dasar hukum bagi pencemaran nama baik, pornografi dan SARA terkait pemanfaatan media elektronik," ujar Yasin kepada Republika, Senin (22/2).

Baca Juga

Ia juga menceritakan, banyak anggota DPR yang sesungguhnya tak ingin masuk ke dalam Pansus RUU ITE. Penunjukan dirinya sebagai Wakil Ketua Pansus juga dikarenakan latar belakangnya yang paham terkait teknologi informasi.

"Waktu penyusunan Pansus itu hampir tidak ada orang yang mau, karena tidak mengerti, sedikit sekali. Karena saya punya background di teknologi informasi, kebetulan saya pernah berkelut dengan teknologi informasi dan kemudian dianggap memadai," ujar Yasin.

Dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE menyebut, melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Pada akhirnya, pihaknya dan pemerintah tetap menyepakati masuknya pasal tersebut. Namun ia menegaskan, UU ITE bukanlah undang-undang organik terkait pencemaran nama baik, pornografi, dan SARA.

Namun, fokus dalam memberikan payung hukum terhadap transaksi elektronik. Mengingat penipuan terkait transaksi elektronik saat itu belum memiliki regulasi yang memadai, di tengah perkembangannya yang semakin pesat.

"Sehingga penerapan UU ITE atas kasus-kasus tersebut adalah setelah pokok perkara terbukti, di mana landasannya adalah UU Pidana dan UU yang spesifik mengatur tentang pencemaran nama baik, pornografi, dan Sara," ujar Yasin.

RUU ITE pertama kali diajukan Presiden Megawati Soekarnoputri ke DPR pada 2003. Kemudian, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 5 September 2005 mengajukan kembali RUU ITE ke DPR.

Lalu, DPR membentuk panitia khusus (pansus) pada 24 Januari 2007 dan merampungkan tugasnya pada 20 Juni 2007. DPR membahasnya sampai disetujui untuk diundangkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 25 Maret 2008.