Kamis 11 Feb 2021 06:25 WIB

Kudeta Myanmar dan Mengapa Militer Harus Kembali ke Barak

Kudeta di Myanmar mudah ditebak mengingat kekuasaan militer yang besar di politik

Dalam gambar yang diambil dari video yang ditayangkan pada hari Senin, 8 Februari 2021, Panglima Tertinggi Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing berbicara di Naypyitaw, Myanmar. Dalam pidato pertamanya kepada negara itu setelah merebut kekuasaan seminggu lalu, kepala militer Myanmar menyalahkan politisi dan komisi pemilihan karena memaksanya melakukan kudeta.
Foto: Myawaddy TV via AP
Dalam gambar yang diambil dari video yang ditayangkan pada hari Senin, 8 Februari 2021, Panglima Tertinggi Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing berbicara di Naypyitaw, Myanmar. Dalam pidato pertamanya kepada negara itu setelah merebut kekuasaan seminggu lalu, kepala militer Myanmar menyalahkan politisi dan komisi pemilihan karena memaksanya melakukan kudeta.

Oleh : Nuraini*

REPUBLIKA.CO.ID, Tahun baru 2021 baru akan berganti bulan Februari, saat iring-iringan kendaraan militer mendatangi kediaman para pemimpin Myanmar. Aung San Suu Kyi, penasihat pemerintah dan Presiden Myanmar Win Mynt ditangkap oleh militer bersama para pemimpin partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pada Senin dini hari, 1 Februari 2021. Saat itu, hanya beberapa jam sebelum parlemen melakukan sidang pertama setelah pemilu 8 November 2020 memenangkan partai NLD, partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi. Berita penangkapan para pemimpin Myanmar itu diketahui dunia sebagai kudeta atau penggulingan kekuasaan oleh militer, dan dianggap mengancam demokrasi yang baru dirasakan negara itu pada 2011.

Kudeta militer tersebut bukan yang pertama terjadi di Myanmar. Militer Myanmar atau yang dikenal sebagai Tatmadaw mengkudeta pemerintahan semi-demokrasi pada 1962. Tatmadaw menguasai pemerintahan Myanmar hingga berpuluh-puluh tahun dan sepanjang rezim itu muncul berbagai gerakan demokrasi. Pada 1988, rakyat Burma yang dipimpin oleh para aktivis mahasiswa, melakukan protes nasional terhadap salah urus ekonomi oleh junta militer dan menuntut reformasi demokrasi. Protes tersebut ditanggapi dengan tindakan keras militer yang brutal, di mana sebanyak 5.000 orang tewas. Di tahun itu pula, Aung San Suu Kyi mendirikan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) dan mulai menekan pemerintah militer untuk mengadakan pemilihan.

Setelah ditekan domestik dan internasional, militer mengadakan pemilihan umum pada 1990 yang dimenangkan oleh NLD. Namun, junta militer menolak mengakui hasil tersebut dan menempatkan Aung San Suu Kyi sebagai tahanan rumah. Tatmadaw berjanji untuk mengadakan pemilihan baru dan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sipil setelah menyusun konstitusi baru, tetapi gagal melakukannya selama 18 tahun. Baru pada 2008, Tatmadaw menyusun konstitusi baru tanpa melibatkan siapapun.

Konstitusi baru itulah yang mempertahankan kendali militer atas pemerintahan. Sebab, militer mematok 25 persen dari semua kursi di parlemen nasional dan lokal untuk melayani pejabat militer. Pengaturan ini juga memberi Tatmadaw kekuatan de facto untuk memveto setiap reformasi konstitusional yang diajukan oleh legislator sipil. Pemerintahan junta militer juga mempertahankan aset-aset penting seperti pertambangan, industri minyak, dan gas negara di bawah kendali mereka.

Kendali militer yang kuat membuat pemerintahan sipil di Myanmar hampir tidak bisa berkutik. Jenderal Min Aung Hlaing yang memimpin militer sejak Maret 2011, mendapatkan pengaruh politik besar saat partai dukunganya, Union Solidarity and Development Party (USDP) mengendalikan pemerintahan periode 2011-2016. Pada pemilu 2015, NLD mengalahkan USDP yang kemudin membawa Suu Kyi pada jabatan kepala negara de facto. Pada 2016, ketika NLD berkuasa, Hlaing beradaptasi dengan perubahan. Dia terlihat bekerja bersama dan tampil di acara publik bersamanya. Namun, terlepas dari perubahan itu, dia terus memastikan kekuasaan Tatmadaw dengan menolak upaya NLD untuk mengubah konstitusi dan membatasi kekuatan militer.

Baca juga : Indonesia Siapkan Evakuasi WNI Jika Kondisi Myanmar Memburuk

Pemilu terbaru yang digelar pada 2020 menimbulkan kegeraman bagi militer, setelah hasilnya memberikan kemenangan kursi parlemen terbanyak kepada partai Suu Kyi, NLD. Jenderal Hlaing menuding pemilu penuh kecurangan dan menuntut diulang. Isu kudeta kemudian berhembus saat Jenderal Hlaing dalam pidatonya pada 27 Januari mengancam akan mencabut konstitusi. Kendaraan lapis baja juga dikerahkan di jalan-jalan beberapa kota besar, pemandangan yang dianggap tidak biasa terjadi.

Kecurigaan itu sempat dibantah dengan pernyataan militer bahwa tuduhan media tanpa dasar pada 30 Januari. Akan tetapi, kecurigaan itu menjadi kenyataan setelah penangkapan pada pemimpin Myanmar dan militer menyatakan keadaan darurat selama satu tahun. Militer juga mengambil alih kekuasaan pemerintahan dan menjanjikan pemilu ulang. Tatmadaw berdalih penggulingan kekuasaan dilakukan karena kecurangan pemilu dan kegagalan memunda pemilu akibat krisis Covid-19. Belakangan, Suu Kyi dijerat tuduhan yang dinilai absurd yaitu melakukan impor ilegal walkie talkie sebagai alasan penahanan.

Menilik kekuasaan militer dalam politik Myanmar yang diperkuat konstitusi negara, kudeta bukan hal mengejutkan. Demokrasi Myanmar akan terus dirongrong oleh militer yang ingin menguasai pemerintahan. Militer yang menguasai sumber daya ekonomi negara, termasuk kekuatan senjata, dengan mudah menyingkirkan kekuasaan sipil. Oleh karena itu, pengekangan militer untuk terlibat di dalam politik negara menjadi jalan bagi demokrasi untuk bisa berkembang di Myanmar. Namun, bagaimana mengembalikan militer ke barak jika kekuasaannya terlanjur kuat masuk dalam sendi-sendi pemerintahan? Negara lain sepertinya bisa belajar dari Myanmar bahwa tetap menolak fungsi ganda (dwi-fungsi) militer dapat mempertahankan demokrasi.

*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement