Jumat 05 Feb 2021 19:30 WIB

Menunggu Keadilan pada Sanksi Kasus Jilbab NonMuslim

Jangan sampai, ketegasan itu hanya tajam kepada umat Islam

Pelajar SD Negeri 42 memakai seragam pramuka dilengkapi atribut kerudung (jilbab) saat mengikuti aktivitas belajar mengajar di Banda Aceh, Aceh, Jumat (5/2/2021). Tiga menteri dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keagamaan (Kemenag) meluncurkan Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait pakaian seragam dan atribut di lingkungan sekolah negeri.
Foto: Antara/Irwansyah Putra
Pelajar SD Negeri 42 memakai seragam pramuka dilengkapi atribut kerudung (jilbab) saat mengikuti aktivitas belajar mengajar di Banda Aceh, Aceh, Jumat (5/2/2021). Tiga menteri dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian Keagamaan (Kemenag) meluncurkan Surat Keputusan Bersama (SKB) terkait pakaian seragam dan atribut di lingkungan sekolah negeri.

Oleh Ridha Muslimah S (Guru di SMPIP Baitul Maal, Tangsel, Banten)

REPUBLIKA.CO.ID, Isu jilbab kembali mencuat pada awal tahun 2021. Bukan heboh tentang pelarangan jilbab seperti kasus-kasus sebelumnya, namun  berkaitan dengan kewajiban berjilbab di sekolah negeri. Hal ini menimbulkan polemik di berbagai  masyarakat apalagi berlaku pula pada siswi nonmuslim. Kasus ini membuat Mendikbud, Nadiem Makarim berang dan mengancam akan memberikan sanksi tegas terhadap pihak terkait.

Berawal dari viralnya video salah satu orang tua siswi SMKN 2 Padang yang dipanggil wakil bidang kesiswaan. Elianu Hia , orang tua dari Jeni Cahyani yang memenuhi panggilan lisan pihak sekolah, mempertanyakan kebijakan berjilbab tersebut bagi seluruh siswi termasuk nonmuslim. Jeni sejak masuk pembelajaran tatap muka menolak menggunakan jilbab karena mengaku nonmuslim.

Elianu mengatakan bila kebijakan berjilbab ini disetujui Jeni berarti membohongi identitasnya sebagai nonmuslim. Aturan itu pun dituding melanggar hak asasinya sebagai umat beragama yang berkeyakinan berbeda apalagi  terjadi di sekolah negeri. 

Menanggapi kejadian tersebut, Kepala sekolah SMKN 2 Padang, Rusmadi menyampaikan permohonan maafnya. Ia mengatakan kebijakan berjilbab yang telah bertahun-tahun berlangsung hanya menyasar pada siswi muslim dan menyeragamkan berpakaian di sekolah.  Tidak ada pemaksaan bagi siswi nonmuslim. Kalaupun selama ini mereka memakai kerudung atau jilbab hanya bersifat suka rela atau menyesuaikan diri mengikuti tradisi di Kota Padang. Pihak sekolah akan merevisi tata tertib tersebut karena tidak semua murid beragama Islam.

photo
SMK Negeri 2 Padang yang sedang jadi sorotan karena pro kontra aturan siswi memakai jilbab. - (Republika/Febrian Fachri)

Perda Jilbab

Kebijakan yang mewajibkan penggunaan jilbab ini memang diprakarsai oleh Fauzi Bahar pada tahun 2005 yang saat itu menjabat sebagai Wali Kota Padang. Salah satu poin dalam instruksi peraturan No. 451.442/BINSOS-iii/2005 itu tertuang mewajibkan jilbab bagi siswi yang menempuh pendidikan di sekolah negeri di Padang. Menurut Fauzi Bahar, peraturan ini dilatarbelakangi untuk menjaga perempuan dan mengembalikan kearifan lokal budaya Minang. Peraturan ini hanya diwajibkan bagi siswa Muslim.

Selain itu,  dalam wawancaranya dengan TV One, ada tiga manfaat penerapan peraturan busana muslim (jilbab) di sekolah, yaitu pertama, memperdangkal jurang antara si kaya dan miskin; kedua  menurun drastis angka DBD karena tidak ada tempat bagi nyamuk menggigit siswa yang berbusana muslim; ketiga mengurangi rasa dingin karena di Sumatera Barat banyak daerah dingin.

Peraturan yang telah berlangsung selama 15 tahun ini, justru melindungi anak-anak khususnya perempuan. Setelah adanya peraturan ini tidak ada pemerkosaan, tidak ada pelecehan seks dan sebagainya. 

Terlepas dari alasan yang dikemukakan oleh Fauzi Bahar, aturan mewajibkan jilbab di sekolah negeri di Padang yang telah menjadi Perda tersebut ditentang oleh berbagai pihak sebagai tindakan diskriminatif dan intoleransi. Mulai KPAI, PGRI, Komnas HAM, dan berbagai kalangan meminta kebijakan ini diusut dan dicabut. Bahkan Mendikbud, Nadiem Makarim akan menindak tegas pihak-pihak, yang terlibat  aturan kewajiban berjilbab ini, khususnya kasus yang terjadi di SMKN 2 Padang.

"Saya meminta pemerintah daerah sesuai dengan mekanisme yang berlaku segera memberikan sanksi tegas atas pelanggaran disiplin bagi seluruh pihak yang terbukti terlibat. Termasuk kemungkinan menerapkan pembebasan jabatan agar permasalahan ini jadi pembelajaran kita bersama ke depan," tutur dia, Ahad (24/1).

Jilbab, Antara Identitas dan Kewajiban

Berjilbab merupakan kewajiban bagi seorang muslimah yang diperintahkan oleh Allah Swt. dalam QS. An Nuur 31. Aturan berjilbab ini memang sudah sepatutnya diterapkan di sekolah-sekolah berbasis Islam dan pesantren sebagai pengewajawantahan ajaran agama. Pemakaian jilbab di sekolah merupakan pembiasaan warga sekolah sebagai bagian dari akhlak Islami dalam menutup aurat dan menghormati ajaran agama yang dianut.

Namun akan menjadi persoalan, bila aturan ini diterapkan di sekolah negeri yang merangkum keberagaman dalam beragama. Apalagi menyasar pula pada siswa nonmuslim. Dalam perda memang tidak mewajibkan siswa nonmuslim berbusana muslim (jilbab-red), tetapi implementasinya di tingkat sekolah diterjemahkan sebagai kewajiban.

Islam sendiri dalam ajarannya yang tertuang dalam QS. Al Baqarah 256 tidak memaksakan orang di luar Islam untuk masuk Islam atau menjalankan ajaran Islam.  Jadi, jika merujuk pada ajaran Alquran, maka tindakan yang dilakukan oleh oknum di sekolah tersebut bertentangan dengan Islam.

Memang, jilbab yang merupakan kewajiban bagi muslimah menjadi identitas yang membedakan antara muslim dengan nonmuslim. Bila secara merata siswi memakai jilbab, di mana letak pembeda identitas antara muslim dan nonmuslim?

Penulis memahami posisi Jeni Cahyani yang menolak aturan tersebut karena bertolak belakang dengan keyakinannya. Hal ini pernah dirasakan oleh Penulis ketika pada awal tahun 1990-an mengenakan jilbab di sekolah negeri. Saat itu, di negeri kita ini, jilbab memang dilarang dikenakan di sekolah negeri. Dipanggil berkali-kali oleh wakil kepala sekolah, ditunggu di depan gerbang sekolah atau di depan kelas untuk melepaskan jilbab, memang tidak nyaman dan merasa terintimidasi. Walaupun pihak sekolah berdalih bahwa ini merupakan peraturan. Penulis mengalami dilema saat disodorkan surat pernyataan  tidak mengenakan jilbab terutama untuk foto ijazah secara pribadi oleh kepala sekolah. Bersama rekan muslimah yang senasib, Penulis menolak dan tetap mempertahankan menggunakan jilbab sesuai keyakinan agama.

Hal yang wajar dilakukan oleh Elianu Hia sebagai orang tua, ketika anaknya dihadapkan permasalahan ini untuk mempertanyakan peraturan busana muslimah tersebut dan disodorkan surat pernyataan. Hal ini pula yang dilakukan oleh orang Tua Penulis dan siswi berjilbab lainnya yang merasakan keberatan bila harus menanggalkan jilbab sebagai suatu keyakinan dalam agamanya. 

Tindakan tegas Mendikbud 

Jika memang manfaat dari Perda tentang busana muslim ini berhasil dari segi sosial, kesehatan, dan perlindungan terhadap anak dan perempuan seperti yang disampaikan Fauzi Bahar, tentu peraturan ini perlu direvisi dengan menambahkan kata “bagi pemeluknya”. Begitu pula bila aturan Perda ini dilakukan oleh Bali, NTT, atau daerah yang lain yang menjaga kearifan lokal.

Atas nama menjaga kearifan lokal pun tidak dijadikan alasan bagi pihak daerah dan sekolah untuk melarang siswa menjalankan keyakinan agamanya, baik yang mewajibkan jilbab maupun pelarangan jilbab. Toleransi tetap dikedepankan dengan menunaikan amanat UUD 1945.  

Sebagai warga negara yang baik, kita perlu mendukung tindakan Mendikbud terhadap kasus pemakaian jilbab yang terjadi di SMKN 2 Padang kepada siswa nonmuslim. Apalagi bila itu terbukti secara hukum dan melanggar HAM.  Namun tindakan tegas ini, juga perlu diimbangi dengan keadilan pemerintah dalam menyikapi pelarangan berjilbab yang terjadi beberapa daerah di Indonesia. Jangan sampai, ketegasan itu hanya tajam kepada umat Islam namun tumpul terhadap kasus yang berkaitan dengan umat lain kemudian lenyap ditelan bumi.

 

 

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement