Jumat 05 Feb 2021 18:03 WIB

Guru-Guru Myanmar Membangkang, Ikut Protes Lawan Kudeta

Para guru mengaku tak ingin bekerja lagi dengan pemerintahan hasil kudeta.

Rep: Lintar Satria/ Red: Teguh Firmansyah
 masing-masing dan mahasiswa Universitas Dagon memberi isyarat selama kampanye pembangkangan sipil melawan kudeta militer, di Yangon, Myanmar, Jumat (5/2). Guru dan siswa bergabung dalam pemogokan nasional sebagai bagian dari kampanye pembangkangan sipil yang dimulai oleh pekerja medis yang memprotes kudeta militer baru-baru ini .
Foto: EPA-EFE / LYNN BO BO
masing-masing dan mahasiswa Universitas Dagon memberi isyarat selama kampanye pembangkangan sipil melawan kudeta militer, di Yangon, Myanmar, Jumat (5/2). Guru dan siswa bergabung dalam pemogokan nasional sebagai bagian dari kampanye pembangkangan sipil yang dimulai oleh pekerja medis yang memprotes kudeta militer baru-baru ini .

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Guru-guru Myanmar ikut mogok kerja sebagai aksi protes kudeta militer pada Senin (1/2) lalu. Para guru ikut dalam kampanye mogok kerja atau menolak bekerja sama yang sudah dilakukan para dosen lebih dahulu.

Kampanye pembangkangan sipil dimulai petugas medis ketika militer merebut kekuasaan secara paksa. Lalu disusul kelompok-kelompok lainnya termasuk siswa, mahasiswa, organisasi pemuda dan pekerja bagi pegawai negeri maupun swasta.

Baca Juga

Sekelompok dosen dan guru berkumpul di depan Yangon University of Education. Mereka memakai ikat kepala warna merah sambil memegang spanduk unjuk rasa. "Kami tidak menginginkan kudeta militer yang merebut kekuasaan secara tidak sah dari pemerintah terpilih kami," kata seorang dosen Nwe Thazin Hlaing, Jumat (5/2).

"Kami tidak akan bekerja untuk mereka lagi, kami ingin kudeta ini gagal," tambahnya.

Hlaing dikelilingi staf pengacara yang merentangan tangan mereka memberi salam tiga jari. Simbol yang kini banyak digunakan dalam protes di Myanmar.

Salam tiga jari berasal dari film yang diadaptasi dari novel distopia Hunger Games. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir banyak digunakan pengunjuk rasa di negara-negara Asia dalam melawan pemerintah otoriter.

Salah satu staf pengacara memperkirakan ada sekitar 200 hingga 246 staf universitas yang bergabung dalam unjuk rasa itu. "Tujuan kami menahan sistem administrasi, saat ini kami menggelar aksi mogok yang damai," kata salah satu dosen Honey Lwin.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement