Selasa 02 Feb 2021 16:43 WIB

Prancis Desak Militer Bebaskan Pemimpin Sipil Myanmar

Menlu Prancis menyebut kudeta telah merusak proses demokrasi di Myanmar.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Kendaraan pengendali kerusuhan polisi dan truk pengangkut diparkir di jalan menuju gedung parlemen pada Selasa (2/2), di Naypyitaw, Myanmar. Ratusan anggota Parlemen Myanmar tetap dikurung di dalam perumahan pemerintah mereka di ibu kota negara itu pada Selasa, sehari setelah militer melancarkan kudeta dan menahan politisi senior termasuk peraih Nobel dan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi.
Foto: AP
Kendaraan pengendali kerusuhan polisi dan truk pengangkut diparkir di jalan menuju gedung parlemen pada Selasa (2/2), di Naypyitaw, Myanmar. Ratusan anggota Parlemen Myanmar tetap dikurung di dalam perumahan pemerintah mereka di ibu kota negara itu pada Selasa, sehari setelah militer melancarkan kudeta dan menahan politisi senior termasuk peraih Nobel dan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian mendesak militer Myanmar membebaskan para pemimpin sipil yang telah mereka tangkap. Dia menyebut kudeta telah merusak proses demokrasi di Myanmar.

"Penangkapan ini, bersama dengan pengalihan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif kepada tentara, secara tidak dapat diterima merusak proses demokrasi yang dimulai sekitar satu dekade lalu," kata Le Drian pada Senin (1/2), dikutip laman Anadolu Agency.

Baca Juga

Prancis menyerukan agar hasil pemilu Myanmar yang digelar pada 8 November tahun lalu dihormati dan diterapkan. Menurut Le Drian hal itu mencerminkan keinginan demokrasi dan kebebasan dari rakyat Myanmar.

"Prancis akan terus memberikan dukungannya kepada semua orang yang bekerja untuk demokrasi yang lebih besar, perdamaian abadi dan pembangunan ekonomi yang tidak mendiskriminasi dan menguntungkan semua orang," kata Le Drian.

Pada Senin lalu, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior dari Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement