Senin 01 Feb 2021 09:37 WIB

Epidemiolog Sebut Efektivitas PPKM Hanya 30 Persen

Penerapan PPKM seharusnya diberlakukan ketat, khususnya di zona oranye dan merah.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Ratna Puspita
[Ilustrasi] Warga menggunakan sepeda meninggalkan Stadion Pakansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (28/1). Pemerintah Kabupaten Bogor menutup sementara kawasan Stadion Pakansari dari segala aktivitas selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hal untuk menghindari kerumunan yang berpotensi menyebarkan Covid-19.Prayogi/Republika
Foto: Prayogi/Republika.
[Ilustrasi] Warga menggunakan sepeda meninggalkan Stadion Pakansari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (28/1). Pemerintah Kabupaten Bogor menutup sementara kawasan Stadion Pakansari dari segala aktivitas selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hal untuk menghindari kerumunan yang berpotensi menyebarkan Covid-19.Prayogi/Republika

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan, tingkat efektivitas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang sudah berjalan hampir sebulan terakhir masih kurang dari 30 persen. Sebab, masih banyak kekurangan dalam implementasinya, mulai dari konsistensi kebijakan hingga pengawasan.

Seiring peningkatan kasus yang sangat tinggi dan mulai penuhnya kapasitas fasilitas kesehatan, Tri menuturkan, penerapan PPKM seharusnya diberlakukan secara ketat. Khususnya untuk daerah yang berada di zona oranye dan merah.  

Baca Juga

Namun selama ini, Tri menilai, penerapan PPKM di dua zona tersebut justru terbilang sedang hingga ringan. "Dampaknya, efektivitasnya pasti rendah sekali, tidak sebanding dengan penyebaran kasus yang terus meningkat," kata dia saat dihubungi Republika.co.id pada Senin (1/2).

Tidak hanya pembatasan aktivitas, Tri mengatakan, zona oranye dan merah juga harus mendapatkan prioritas untuk penerapan 3T (testing, tracing dan treatment). Kebijakan ini untuk menekan laju penyebaran virus corona dari daerah pusat penyebarannya.

Di sisi lain, Tri berpandangan, kebijakan pemerintah yang tidak konsisten semakin menahan tingkat efektivitas PPKM. Sejak dimulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga new normal, pemerintah kerap berganti kebijakan untuk membatasi aktivitas sosial dan ekonomi. 

Ia mengatakan, inkonsistensi juga kerap terjadi antara pusat dengan daerah. Kondisi tersebut menyebabkan masyarakat dan pihak yang mengawasi di lapangan kerap kebingungan dalam mengimplementasikan pembatasan. 

"Pemerintah harus segera meningkatkan konsistensinya dalam pembuatan kebijakan dan penerapannya," ucap Tri.

Dampak kelanjutan dari kebijakan pusat yang tidak konsisten itu adalah tingkat pengawasan menjadi rendah. Tri memberikan contoh, kebijakan working from home (WFH) 75 persen pada saat PPKM yang tidak terpantau pemerintah atau satuan tugas (satgas) Covid-19 di kantor pemerintah ataupun swasta.

Rendahnya pengawasan ini dibarengi penegakan hukum yang tidak tegas. Misalnya saja sanksi Rp 250 ribu untuk mereka yang tidak mengenakan masker. 

"Ini terlalu kecil, sehingga banyak yang melanggar. Coba sanksinya Rp 5 juta, pasti pada takut," kata Tri.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, pelaksanaan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) selama ini tidak efektif menekan laju penularan Covid-19. PPKM yang telah berjalan lebih dari dua pekan tak berdampak pada penurunan mobilitas dan kegiatan masyarakat.

"Saya ingin menyampaikan mengenai yang berkaitan dengan PPKM tanggal 11-25 Januari. Kita harus ngomong apa adanya. Ini tidak efektif. Mobilitas juga masih tinggi karena kita memiliki indeks mobility-nya ada," kata Jokowi saat rapat terbatas di Istana Bogor, Jumat (29/1) yang videonya baru diunggah pada Ahad (31/1). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement