Rabu 20 Jan 2021 04:55 WIB

Fatimah as-Samarqandi, Ahli Fiqih yang Belajar dari Ayahnya

Fatimah as-Samarqandi belajar fiqih dari ayahnya.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Muhammad Hafil
Fatimah as-Samarqandi, Ahli Fiqih yang Belajar dari Ayahnya. Foto: Ilustrasi Ilmuwan Muslimah
Foto: Mgrol120
Fatimah as-Samarqandi, Ahli Fiqih yang Belajar dari Ayahnya. Foto: Ilustrasi Ilmuwan Muslimah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejumlah ulama perempuan banyak terlibat dalam perkembangan Islam setelah zaman Rasulullah SAW, salah satunya adalah Fatimah as-Samarqandi. Nama aslinya yaitu Fatimah binti Alauddin Muhammad bin Ahmad as-Samarqandi.

K.H. Husein Muhammad dalam bukunya, Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah menjelaskan, sejak kecil, Fatimah belajar dan mengaji pada ayahnya sehingga dia menguasai banyak ilmu. Bahkan, dia hafal kitab sang ayah, At-Tuhfah al-Fuqaha. Apabila sang ayah dimintai fatwa oleh masyarakatnya, dia meminta putrinya untuk menjawabnya, sementara sang ayah ikut mendengarkan.

Baca Juga

Imam Abd al-Hayy al-Laknawi dalam karyanya, Al-Fawaid al-Bahiyyah menjelaskan Fatimah adalah seorang perempuan ahli fiqh dan sangat alim. Dia menyelenggarakan pengajian untuk umum dan banyak ulama besar dan tokoh masyarakat yang mengaji kepadanya. Dia adalah zahid, ughari, dan sangat terhormat. Selain mengaji, ia menulis sejumlah buku dalam bidang fiqh dan hadits. Karya-karyanya dipelajari oleh para ulama dan masyarakat umum.

Tak hanya cerdas, Fatimah memiliki paras yang menawan. Dia seperti sosok bunga desa. Raja-raja di wilayah Turki dan Arabia berdatangan menemui ayahnya untuk meminang putrinya. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang diterima.

Sampai suatu ketika, sang ayah menjodohkan putrinya dengan Alauddin al-Kasani, santrinya yang cerdas dan rajin ibadah. Namun, Alauddin merasa dirinya tidak pantas menikahi putri gurunya. Sebab, ia hanya seorang santri yang miskin. Di satu sisi, dia merasa tidak etis menolak permintaan gurunya. Akhirnya, sang ayah mengambil keputusan dia mau menikahkan putrinya jika Alauddin al-Kasani telah rampung menulis syarh atau komentar atas kitab At-Tuhfah al-Fuqaha. Alauddin al-Kasani menyanggupinya, bukan hanya karena diminta gurunya, melainkan karena kecantikan dan kecerdasan Fatimah.

Dalam waktu singkat, Alauddin mampu menyelesaikan karyanya yang ia beri judul Badai’ ash-Shanai’ fi Tartib asy-Syarai’ dan terdiri atas tujuh jilid, setiap judul ada 450 halaman. Kemudian, kitab tersebut menjadi mahar Alauddin untuk menyunting putri gurunya. Para ulama kala itu mengatakan Alauddin adalah santri yang beruntung karena mendapat dua permata, Fatimah dan Syarh Kitab Tuhfah.

Fatimah wafat di Kota Aleppo, Suriah pada tahun 581 H/1185 M. Dia dimakamkan di pemakaman orang shalih. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement