Kamis 07 Jan 2021 15:36 WIB

Butuh Kesejalanan dan Kebijaksanaan Tangani Pandemi

Perlu kesejalanan ilmu pengetahuan dan kebijakan politik.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid.
Foto: Thoudy Badai_Republika
Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Sejak diumumkannya kasus pertama pada Maret 2020, Indonesia sudah hampir satu tahun menjalani masa pandemi Covid-19. Sayang, belum ada usaha-usaha yang mampu menurunkan atau mengendalikan penyebaran virus tersebut.

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Fathul Wahid mengatakan, saat ini penyebaran Covid-19 sudah luar biasa masif. Angka signifikan penyebaran menunjukkan pula jika dampak yang dimunculkan pandemi memang luar biasa.

Uniknya, pandemi turut membuat posisi ilmu pengetahuan di hampir seluruh dunia naik. Bahkan, walau belum semua, sudah sangat banyak negara yang menggunakan ilmu pengetahuan sebagai pedoman dalam pengambilan kebijakan.

Fathul turut menyoroti kemunculan dua sisi manusia akibat pandemi, positif dan negatif. Di satu sisi munculnya pandemi melahirkan isu-isu kemanusiaan, di sisi lain melahirkan pengambil keuntungan dari kesulitan orang banyak.

Untuk itu, ia menekankan, perlu kesejalanan ilmu pengetahuan dan kebijakan politik. Sehingga, sisi negatif bisa dikurangi dan sisi positif bisa ditingkatkan, lalu penanganan pandemi bisa dilakukan lebih baik.

"Kesejalanan nilai-nilai kemanusiaan yang kita yakini dengan kebutuhan. Jika kesejalanan kita jaga, insya Allah pandemi bisa kita atasi lebih baik," kata Fathul, dalam Laporan Tahunan Islam Indonesia 2021, Embun Kalimasada YBW UII, Kamis (7/1).

Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU), Prof Purwo Santoso berpendapat, penanganan pandemi selama ini kerap hanya mengandalkan kebijakan, bukan kebijaksanaan. Padahal, ada kebutuhan ilmu pengetahuan yang sering luput.

Ia menekankan, jika pendekatan dalam penanganan pandemi hanya ilmu politik, tentu saja yang dihasilkan hanya sekadar kebijakan. Sedangkan, kebutuhan sebenarnya kebijaksanaan, sehingga benar di satu sisi, benar di sisi lain.

"Kata kuncinya sinkronisasi cara berpikir, makro dan mikro, jangka pendek dan jangka panjang, pragmatis dan visioner," ujar Purwo.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement