Rabu 30 Dec 2020 05:41 WIB

Kisah di Balik Fatwa Natal Buya Hamka

Menelisik fatwa Natal dari Buya Hamka

Foto Buya Hamka dalam buku Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian (1983).
Foto: Dok Republika
Foto Buya Hamka dalam buku Doktrin Islam yang Menimbulkan Kemerdekaan dan Keberanian (1983).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Andi Ryansyah, Penulis Sejarah dan Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

Beberapa waktu lalu, aksi kristenisasi di Indonesia menuai berbagai kecaman dan meresahkan masyarakat, terutama umat Islam. Masih hangat di ingatan kita, seorang nenek berjilbab yang sedang berjalan kaki dalam Car Free Day (CFD), tiba-tiba dijegat dan dipaksa berdoa kepada Yesus oleh misionaris.[1] Kemudian pada kasus lain, Ketua Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) tidak menyetujui aturan Polri tentang pemakaian jilbab bagi Polwan.[2] Tampaknya kristenisasi di Indonesia bak barang bekas yang terus didaur ulang.

Sebab sejak masa penjajahan, negeri Muslim terbesar di dunia ini dibidik sebagai sasaran empuk oleh Misi Kristen. Ketika penjajah Portugis berhasil menduduki Malaka, Panglima Perang Alfonso Dalbuquerque berpidato,

 “Adalah suatu pemujaan yang sangat suci dari kita untuk Tuhan dengan mengusir dan mengikis habis orang Arab dari negeri ini, dan dengan menghembus padam pelita pengikut Muhammad sehingga tidak akan ada lagi cahayanya di sini buat selama-lamanya,”

Kemudian disambungnya,” Sebab saya yakin kalau perniagaan di Malaka ini telah kita rampas dari tangan kaum muslimin, habislah riwayat Kairo dan Makkah, dan Venesia tidak akan dapat lagi berniaga rempah-rempah kalau tidak berhubungan dengan Portugis.”[3]

Penjajah Belanda juga sangat berambisi melakukan aksi kristenisasi. Alb C Kruyt (Tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum mengakui, “Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang menguntungkan Islam di Kepulauan ini akan merugikan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini diakui bahwa kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan dan zending Kristen merupakan rekan sepersekutuan bagi pemerintah kolonial, sehingga pemerintah akan membantu menghadapi setiap rintangan yang menghambat perluasan zending.”[4]

Pemerintah kolonial juga telah mencoba untuk mengatur perkawinan di masyarakat, yang secara langsung bersinggungan dengan umat Islam di Indonesia, sebagai mayoritas rakyat Indonesia.

Pada tahun 1937, Pemerintah kolonial Belanda mencoba mengajukan undang-undang perkawinan yang mewajibkan umat Islam untuk mencatatkan pernikahannya, dan mewajibkan monogami serta melarang suami menceraikan istri secara sepihak.

Sontak undang-undang ini menuai reaksi keras dari umat Islam saat itu, sehingga pemerintah kolonial pun membatalkannya. Namun di lain sisi, sejak tahun 1933, pemerintah kolonial telah memberlakukan Undang-undang perkawinan untuk Kristen pribumi yang disebut HOCI(Huwelijkes Ordonnantie Christen Indonesiers), dan tetap dipertahankan oleh pemerintah Indonesia setelah merdeka.[5]

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement