Senin 21 Dec 2020 10:00 WIB

Memaknai Ummatan Wasathan 

Konsep ummatan wasathan disebutkan dalam Alquran.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
Memaknai Ummatan Wasathan 
Foto: Republika/Musiron
Memaknai Ummatan Wasathan 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Dalam Alquran konsep ummatan wasathan hanya sekali disebutkan, yakni pada surat al-Baqarah ayat 143. Dalam Alquran terjemahan Kementerian Agama, ummatan washatan di artikan sebagai umat pertengahan. 

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ  وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ  ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Baca Juga

Artinya: Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.

Pengasuh Pondok Pesantren Pasca Tahfidz Bayt Al Quran yang juga dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ustaz Syahrullah Iskandar menjelaskan dijadikan sebagai ummatan wasathan adalah sebuah karunia besar dari Allah  kepada kaum Muslimin. Ia menjelaskan secara semantik, term wasath berarti al-khiyar (pilihan), al-ajwad (terbaik), al-‘adul (adil). Ustaz Syahrullah mengatakan umatan wasathan bukan sekadar identitas, melainkan cerminan karakter dari keberislaman umat Islam.

Ustaz Syahrullah menjelaskan Islam sebagai agama sudah tentu mengusung wasathiyah dari ajarannya, baik disumberkan dari al-Qur’an maupun al-Sunnah. 

Tetapi menurutnya jika dikaitkan dengan pengejawantahan Islam itu sendiri oleh penganutnya, konsep wasathiyah ini perlu dikasatmatakan. Karena itu ustaz Syahrullah menagatakan antara Islam dan keberislaman adalah dua entitas yang berbeda. 

"Ummatan wasathan berimplikasi makna penerapan akan nilai-nilai kebaikan, keadilan, keseimbangan, dan selainnya dalam keberislaman. Secara teologis, Islam menanamkan nilai ketauhidan. Islam menafikan atheisme ataupun politeisme. Islam menampik penghambaan terhadap materialisme (maddiyun), namun juga menolak jalan ruhani (ruhaniyyun) yang murni mengenyahkan urusan duniawi. Islam terdiri dari komponen akidah, muamalah, dan akhlak yang harus diimplementasikan secara sinkron. Islam bukan semata menawarkan ilmu, tetapi mewajibkan pengamalan yang bermuara pada kemaslahatan," jelas ustaz Syahrullah dalam pesan singkatnya kepada Republika pada Senin (21/12) 

Merujuk ke sejarah dakwah Rasulullah, ustaz Syahrullah menjelaskan bahwa pemaknaan ummah di periode makkiyah memiliki distingsi dengan di periode madaniyah. Sebelum hijrah ke Madinah, konsep ummah lebih bersifat teologis yang memunculkan term ummah wahidah (umat yang satu). 

Sunnatullah berbicara bahwa perbedaan akan selalu ada dalam sebuah lingkup keumatan. Di periode Madinah, pemaknaan ummah beranjak ke makna sosio-politik, sehingga perbedaan lebih dikelola dengan baik. Ustaz Syahrullah mengatakan pada periode Madinah inilah konsep ummatan wasathan muncul. 

Menurutnya perbedaan dipahami dan dikelola dengan baik sehingga membentuk keterbukaan dalam cara berpikir dan pola bertindak dalam keseharian. Umat Islam sebagai ummatan wasathan harus berinteraksi dengan semua pihak secara terbuka dengan mengedepankan kebersamaan. Relasi sosial diperkuat dengan tidak membatasi diri pada sekat agama, melainkan mampu rukun berdampingan dengan penganut agama lain, suku yang bervarian, pilihan politik dan kecenderungan yang berbeda, dan sebagainya. Nilai yang tertuang dalam Piagam Madinah menjadi contoh baik bagaimana implementasi konsep ummatan wasathan itu dalam bermasyarakat.  

"Memaknai ummatan wasathan dapat saja dimaknai secara literalis bahwa umat Islam menempati posisi “tengah-tengah”. Ajaran Islam memang mengedepankan keseimbangan (tawazun) praktis dalam semua komponennya, baik ibadah, muamalat, maupun akhlak. Namun, dapat juga dimaknai secara makro bahwa posisi umat Islam lebih bersifat universal di antara segenap ragam manusia. Tugas umat Islam adalah mengejawantahkan wasathiyyah Islam itu sendiri dalam keseharian. Berislam tidak identik dengan mencaci, menghujat, memunafikkan, terlebih mengkafirkan orang yang berbeda pandangan," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement