Sabtu 05 Dec 2020 12:13 WIB

Ayo Fair-Fair-an Pemerintah, Berani Tutup Lokasi Wisata?

Libur panjang tak memberi dampak kenaikan belanja konsumsi, tapi Covid-19 yang naik.

Pantai Kuta, Badung, Bali, Jumat (30/10/2020) kembali ramai saat libur Hari Maulid Nabi Muhammad SAW, setelah sempat sepi kunjungan akibat terdampak pandemi COVID-19.
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Pantai Kuta, Badung, Bali, Jumat (30/10/2020) kembali ramai saat libur Hari Maulid Nabi Muhammad SAW, setelah sempat sepi kunjungan akibat terdampak pandemi COVID-19.

Oleh : Mas Alamil Huda*

REPUBLIKA.CO.ID, Logika ringan kemarin disodorkan tetangga saya saat kami berdua sedang bercakap. Kami berbincang lewat aplikasi perpesanan. Dia protes dengan kebijakan pemangkasan libur panjang. Sederhana sebetulnya dasar argumentasi dia, tetapi menurut saya substantif.

Begini, mulanya saya mengunggah tautan berita di Republika.co.id tentang keputusan pemerintah itu. Kemudian dibalasnya dengan sebuah pertanyaan singkat, "mengapa musti dipangkas ya, mas? itu kan hak kita (pekerja)". Saya agak kaget. Saya pikir orang ini cuma sedang egois saja. Dia ingin berlibur di akhir tahun.

Tapi tak pernah sampai hati bagi saya, syakwasangka seperti itu saya biarkan mengendap tanpa tabayyun. Bagi saya, ini prinsip, karena penting. Untuk semua case dan persoalan.

Latar belakang munculnya kebijakan ini pun saya jelaskan. Panjang dan lebar. Baik secara normatif, terkait pencegahan penyebaran Covid-19, hingga data dan fakta pertambahan kasus terkonfirmasi positif pascamomentum libur panjang beberapa kali sejak pandemi terjadi. Dia balik tanya, "iya saya paham, mas, tapi (libur) ini kan katanya dulu pengganti cuti bersama Idul Fitri, kenapa dibatalkan juga".

Lontaran pertanyaan keduanya justru terasa kian melegitimasi prasangka saya tentang kemungkinan adanya rencana dia untuk berlibur di akhir tahun. Sengaja saja di percakapan itu sementara saya biarkan tanpa kepastian untuk menghindari konfrontasi.

Tetangga saya itu, sekadar untuk profiling, kini bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah kantor kecamatan di Kabupaten Bogor. Umurnya 39 tahun. Anaknya dua. Yang paling besar 6 tahun, dan yang bontot dua tahun. Asalnya Cirebon, Jawa Barat.

Saya coba 'memutar' untuk bertanya kabar keluarga besarnya di kampung halaman. Dia bilang baru saja pulang kampung pada 7-8 November lalu. Memperingati satu tahun wafatnya Sang Ibu. Tanggal 6 November malam hari berangkat dari Bogor, tanggal 8 November sudah di rumahnya lagi, di Bogor. Ia tak mudik saat lebaran, libur panjang di Agustus, maupun akhir Oktober lalu. Karena satu dan lain hal, katanya.

Untuk ketiga kalinya, saya menduga, akhir tahun nanti akan dimanfaatkannya dengan berkumpul dan menghabiskan waktu bersama keluarga besar di kampung halaman. Agak sulit untuk percaya jika tidak 'ditambah liburan ke tempat wisata' di sana jika demikian situasinya. Itu semua dari asumsi jika cuti bersama tak dipangkas atau ada belasan hari libur berurutan.

Jika benar demikian, apakah itu sebuah kesalahan? Sukar untuk memberi justifikasi 'salah' dengan berbagai variabel penilaian.

Kejenuhan selama 9 bulan hidup dalam situasi 'tidak normal' di daerah penyangga Ibu Kota, berakumulasi dengan kerinduan pada sanak saudara sebagai pengejawantahan dari kebutuhan primordial manusia, plus belum terlihatnya kepastian akhir pandemi, bisa jadi sebagai motivasi yang tak akan mampu dengan mudah diredupkan. Belum lagi jika ada sebagian di antara kita yang melihat secara skeptis penanganan pandemi oleh pemerintah (pusat maupun daerah) sejauh ini. Sampai di sini, pemangkasan libur panjang adalah pilihan realistis.

Tapi ternyata orang yang sedang bicara sama saya ini tak serumit itu pertimbangannya. Setelah tiga kali merasa prasangka kian kuat, saya jadi berpikir dengan pertanyaan ketiga dia, "kalau begitu, mengapa bukan tempat wisatanya yang ditutup?".

Saya giliran balik bertanya. Apakah jika tetap libur belasan hari secara berurutan, Bapak akan diam di rumah dan tak bepergian? "Lah memang saya begitu selama ini, kecuali ngantar istri beli tempe ke Griya," kata dia. Griya adalah sebutan untuk pasar tradisional yang berada di dekat rumah kami.

Kalau begitu, bukankah kita lebih baik bekerja saja seperti biasa dengan skema libur yang baru saja ditetapkan. Dia menjawab, "tidak lebih baik".

Isyarat Menkeu

Saya secara pribadi menerima narasi pemerintah tentang pentingnya menyeimbangkan antara pengendalian pandemi dan menjaga stabilitas ekonomi. Risiko 'meninggalkan' ekonomi memang sangat tidak kecil. Mudharatnya bisa jadi sangat besar. Soal caranya, itu tugas pemerintah. Dana, data dan resources mereka punya.

Tapi, pekan lalu, data yang dipaparkan Menteri Keuangan Sri Mulyani secara jujur menunjukkan situasi berbeda terjadi pada masa pandemi Covid-19. Saya kutip pemberitaan Republika.co.id soal ini. Ada dampak unintended atau efek yang tidak diharapkan terjadi.  Menkeu bilang, libur panjang tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi. Tapi data tingkat penyebaran Covid-19, justru  meroket naik.

Korelasi tersebut digambarkan Sri berdasarkan situasi pada Oktober. "Pada libur panjang justru jumlah Covid naik tapi indikator ekonomi tidak membaik atau tidak terjadi konsumsi yang diharapkan," kata Sri, Senin (23/11). Catat ya, akhir Oktober lalu ada libur total 5 hari.

Lantas, siapa bisa menjamin dalam empat hari libur berurutan (24-27 Desember), kemudian empat hari berurutan lagi di pekan berikutnya (31 Desember-3 Januari), masyarakat tidak menyerbu lokasi wisata? Saya tidak yakin seluruh masyarakat Indonesia bisa dan mampu bersikap seperti seorang tetangga saya itu.

Zona kita

Di sisi lain, untuk konteks Indonesia, terasa agak kurang relevan pemetaan zonasi risiko penyebaran Covid-19 tiap daerah. Yang hijau, kuning, oranye, dan merah itu. Ya karena mobilitas orang dari satu daerah ke daerah lainnya tak ada pembatasan. Jadi selama mobilitas manusia tak ada pembatasan, SARS-CoV2 pun kian rumit dikendalikan. Sederhana saja.

Yang bekerja di Jakarta tak sedikit tinggal di daerah penyangga. Maka jangan kaget dalam waktu relatif cepat, Bodetabek yang sempat oranye kemudian merah lagi. Kemudian kegiatan dibatasi, jadi oranye lagi. Begitu seterusnya. Di Jawa Timur, empat kota/kabupaten (Jombang, Jember, Situbondo, Batu Malang) pekan ini tiba-tiba merah. Jawa Tengah, sempat mencatat kasus harian tertinggi di 2.000-an. Kemudian memerah di beberapa daerah meski sebelumnya kuning dan oranye.

Tapi, kita tentu tak boleh ambil spektrum cara pandang yang terlalu pesimistik. Saya setuju dan percaya Pak Presiden Jokowi soal ini. Optimisme wajib terus diletakkan di atas segalanya meski situasinya serba sulit seperti seperti saat ini.

Setidaknya, gayung optimisme itu bersambut dengan datangnya vaksin Covid-19 yang dijanjikan bulan ini. Awal tahun depan sudah bisa dimulai vaksinasi. Saya pribadi percaya, vaksin yang dibeli dan diinjeksikan ke rakyat pasti berkualitas, baik dalam aspek keamanan maupun efektivitas. Dua hal itu mutlak, sehingga saya tidak yakin ada yang berani mempermainkannya. Karena itu domain saintifik.

Kembali lagi, dengan perkembangan penyebaran Covid-19 di Indonesia saat ini, zona kita belum kuning (risiko rendah), apalagi hijau (risiko rendah). Asumsi paling optimis kita berada di zona oranye (risiko sedang). Yang paling mungkin, Indonesia masih merah.

Merasa berisiko tinggi (zona merah) akan berdampak lebih baik dalam upaya-upaya preventif. Ini untuk semuanya, mulai pemerintah hingga kepatuhan kita menjalani prosedur protokol kesehatan. Orang tua saya dulu mewanti-wanti, untuk menyikapi suatu ancaman, luwih apik waspodo tinimbang nggampangke (lebih baik waspada daripada menggampangkan).

"Jadi fair-fair-an saja, pemerintah (pusat maupun daerah) berani nggak tutup lokasi wisatanya," kata tetangga saya tadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement