Jumat 04 Dec 2020 09:36 WIB

Polda Metro Jaya Bongkar Mafia Tanah, Kerugian Hingga Rp 6 M

Polisi menangkap menangkap delapan orang dari 10 tersangka.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andi Nur Aminah
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jajaran Polda Metro Jaya membongkar sindikat mafia tanah. Modusnya dengan membujuk korban untuk menyerahkan sertifikat dengan alasan membantu renovasi rumah. Dari kasus ini, polisi menangkap menangkap delapan orang dari 10 tersangka terkait penipuan dan atau penggelapan akta otentik tanah. Nilai kerugiannya mencapai Rp 6 miliar. 

"Setelah sertifikat dikuasai tersangka, para tersangka bekerja sama melakukan transaksi jual beli menggunakan dokumen palsu tanpa sepengetahuan korban. Kemudian sertifikat dibalik nama kemudian diagunkan di salah satu bank senilai Rp 6 miliar," jelas Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus saat konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Kamis (3/12).

Baca Juga

Ada pun ke-10 tersangka yang sudah diamankan berinisial AYS, PA, MSM, SHS, RIG, S, AA, NS, HG dan HAG. Dua nama terakhir masih dalam pengejaran polisi atau buron, dan tersangka AYS sedang menjalani masa hukuman di Lapas Cipinang dalam perkara lain. 

Sementara tersangka PA tengah sakit stroke. Kasus mafia tanah ini dilaporkan korban bernama Christina Anastia Sediati, pada 23 Februari 2017.

Menurut Yusri, kasus ini bermula saat korban terbuai dengan rayuan tersangka untuk menyerahkan sertifikat hak milik (SHM) sebidang tanah. Korban memiliki tanah di Jalan Pulo Asem Utara II Nomor 1, Kelurahan Jati, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur, seluas 4.27 meter persegi sejak 1964. Tersangka PA dan MSM meminjam sertifikat itu pada 2009 dan mengagunkannya ke Bank Mandiri sebagai modal usaha, dengan janji membantu renovasi rumah.

"Korban dijanjikan akan direnovasi rumahnya, namun tidak terlaksana dan terjadi kredit macet senilai Rp 2 miliar," terang Yusri.

Kemudian pada 2015, tersangka MSM dan AYS menawarkan korban untuk menebus SHM dan menjanjikan uang sebesar Rp 100 juta. Syaratnya, sertifikat tanah dipinjam selama tiga bulan dan disetujui oleh korban. Namun pada tahun 2016, pihak bank swasta menyatakan bahwa sertifikat tanah milik korban sudah beralih kepemilikannya menjadi atas nama HG.

"Sertifikat itu sedang diagunkan di bank senilai Rp 6 miliar, sedangkan faktanya korban tidak pernah mengalihkan kepemilikan," tutur Yusri.

Sedangkan, SHS dan RIG sendiri merupakan seorang notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Keduanya bersekongkol dengan mafia tanah untuk memuluskan pemalsuan SHM. Kemudian, S dan AA merupakan notaris palsu.

Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Tubagus Ade Hidayat mengatakan tersangka memalsukan seluruh dokumen proses peralihan kepemilikan. Seperti memalsukan akta perkawinan korban dan kartu tanda penduduk (KTP). Sehingga banyak tersangak berperan sebagai notaris, karena memang perpindahan hak jual beli butuh notaris. "Notaris tidak melakukan hal yang harus dilakukan," tegas Tubagus.

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat Pasal 263 KUHP dan atau Pasal 264 KUHP Jo Pasal 55 ayat 1 ke (1) KUHP dan atau Pasal 3, 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Mereka terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara atau denda Rp 10 miliar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement