Kamis 03 Dec 2020 15:23 WIB

Djoko Tjandra Jelaskan Action Plan dan Biaya 1 Juta Dolar AS

Djoko Tjandra kemarin bersaksi untuk terdakwa Andi Irfan Jaya.

Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra. (ilustrasi)
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terpidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Dian Fath Risalah

Terpidana kasus korupsi cessie Bank Bali Djoko Tjandra menjelaskan soal action plan yang mencantumkan sejumlah inisial termasuk pejabat Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Hal itu dibeberkannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (3/12).

Baca Juga

"JC itu saya, IR Irfan Jaya, BR saya tidak tahu, HA saya tidak tahu, P tidak tahu, DK saya tidak tahu, di nomor 4 itu pembayaran uang muka 500 ribu dolar AS," kata kata Djoko Tjandra.

Djoko kemarin bersaksi untuk terdakwa Andi Irfan Jaya yang didakwa membantu Djoko Tjandra menyuap jaksa Pinangki Sirna Malasari sebesar 500 ribu dolar AS (sekitar Rp7,28 miliar) sekaligus melakukan permufakatan jahat untuk memberikan uang kepada pejabat di Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung sebesar 10 juta dolar AS (sekitar Rp145,6 miliar).

"Tapi semua saya komentari 'No' karena saya tidak begitu comfortable," ungkap Djoko.

Djoko Tjandra mengaku menjanjikan bayaran biaya (fee) 1 juta dolar AS untuk advokat Anita Kolopaking dan pengusaha Andi Irfan Jaya dalam menyelesaikan masalah hukumnya melalui action plan.

"Saya hanya bicara pembiayaan digabung menjadi satu, total menjadi 1 juta dolar AS (sekitar Rp14,2 miliar), 400 ribu dolar AS (sekitar Rp5,6 miliar) untuk Anita dan 600 ribu dolar AS (sekitar Rp8,5 miliar) untuk Andi Irfan Jaya," kata Djoko.

Kesepakatan fee tersebut terjadi pada 25 November 2019 yang dihadiri oleh jaksa Pinangki Sirna Malasari, advokat Anita Kolopaking dan pengusaha yang menyediakan jasa konsultasi Andi Irfan Jaya di kantor Djoko Tjandra di Kuala Lumpur.

"Saya dikenalkan dengan Andi Irfan Jaya, yang perkenalkan Pinangki karena saya minta satu orang sebagai konsultan, beliau (Pinangki) mengatakan ini Andi Irfan Jaya," tutur Djoko.

Djoko memang mengakui meminta satu orang pengacara dan satu orang konsultan kepada Pinangki. Selain memberikan konsultasi, Andi Irfan Jaya juga menyanggupi untuk memberi kuasa dalam akta kuasa jual.

"Saya mengatakan tindakan hukum yang dikerjakan Anita, lain-lainnya dikerjakan Andi Irfan. Lain-lain itu maksudnya saya mintakan tolong bikin action plan," ungkap Djoko.

Dalam dakwaan disebutkan action plan tersebut terdiri dari 10 tahap pelaksanaan dan mencantumkan inisial "BR" yaitu Jaksa Agung ST Burhanuddin dan "HA" selaku Ketua MA periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali dengan pengajuan pembayaran 10 juta dolar AS, namun hanya disepakati Djoko Tjandra sebesar 1 juta dolar AS.

"Saya dapat proposal action plan itu beberapa hari kemudian setelah 25 November, saya dapat proposal dan draf kuasa," ungkap Djoko.

Namun, atas kesepakatan action plan tersebut, tidak ada satu pun yang terlaksana. Padahal, Djoko Tjandra telah memberikan uang muka sebesar 500 ribu dolar AS sehingga Djoko Tjandra pada Desember 2019 membatalkan action plan dengan cara memberikan catatan pada kolom notes dengan tulisan tangan "No" kecuali pada action ketujuh dengan tulisan tangan 'bayar nomor 4,5' dan action kesembilan dengan tulisan 'bayar 10 M' yaitu bonus bila Djoko kembali ke Indonesia.

Dalam persidangan kemarin, Djoko Tjandra juga menyebut awalnya ia tidak ingin dibantu oleh jaksa Pinangki dalam mengurus persoalan hukumnya.

"Saya tidak ingin Pinangki membantu saya dan masalah hukum saya, dari awal saya tidak ingin Pinangki ikut campur karena confict of interest dan mencampuradukkan masalah saya," kata Djoko Tjandra.

Keengganan Djoko itu ia sampaikan setelah Pinangki menemuinya di kantor Djoko di Kuala Lumpur pada 12 November 2019. Pertemuan itu juga dihadiri oleh seorang pengusaha rekan Djoko Tjandra bernama Rahmat.

"Saat itu mereka datang mau kunjungan, karena saya sudah lama tidak pulang ke Jakarta jadi saya minta perkenalkan pengacara yang bagus," ungkap Djoko Tjandra.

Nama Djoko Tjandra masuk dalam red notice Interpol sejak sekitar satu bulan setelah putusan Peninjauan Kembali (PK) No. 12 pada Juni 2009 yang menyatakan ia bersalah dan harus divonis 2 tahun penjara sehingga sejak 2009, Djoko Tjandra tidak kembali ke Indonesia.

"Karena dia (Pinangki) jaksa saya tidak ingin mendengar lebih jauh, tapi saya menceritakan duduk perkara kasus saya. Hanya saya tekankan bahwa karena 'Anda adalah PNS, saya tidak bersedia berhubungan secara hukum, tapi saya menjelaskan boleh memperkenalkan pengacara-pengacara yang menurut Pinangki bisa membantu saya," ujar Djoko Tjandra menjelaskan.

Atas permintaan Djoko Tjandra tersebut, Pinangki lalu membawa seorang advokat bernama Anita Kolopaking pada pertemuan 19 November 2019 di Kuala Lumpur untuk menjadi pengacara Djoko Tjandra. Sebagai pengacara Djoko, Anita kemudian yang mencoba melakukan lobi-lobi dengan petinggi Polri di Jakarta.

Saat bersaksi untuk terdakwa Tommy Sumardi (perkara terpisah), Anita mengaku mempresentasikan ihwal persoalan hukum kliennya di ruang kerja Brigjen Prasetijo Utomo yang ketika itu menjabat Kabiro Kordinasi Pengawas PPNS Bareskrim Polri. Awalnya, Anita menceritakan pada 26 April 2020, Djoko Tjandra memintanya untuk menemui Tommy dan mempresentasikan persoalan hukum yang dihadapi kliennya tersebut.

Sehari kemudian, Anita pun berangkat ke Bareskrim Polri untuk menemui Tommy yang telah menunggunya.

"Bertemu (Tommy Sumardi) di ruang pak Prasetijo Utomo di Bareskrim lantai 12. Bertemu (Prasetijo)," kata Anita.

Dalam pertemuan itu, Anita melakukan presentasi dan menjelaskan mengenai perkara cessie Bank Bali sejak di tingkat pertama atau PN Jaksel hingga putusan Peninjauan Kembali (PK) tahun 2009 yang membuat Joko Tjandra dihukum 2 tahun pidana penjara. Tak hanya itu, Anita juga menjelaskan mengenai putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berkaitan dengan persoalan Joko Tjandra.

"Presentasi apa, " tanya Jaksa Sophan.

"Mengenai masalah hukum Djoko Tjandra  sejak putusan PN Jaksel, Kasasi, proses Eksekusi Kasasi, dan PK 2009 dan Putusan MK, " terang Anita.

"Saya presentasikan kasus itu. Saya bagikan hardcopy, saya presentasikan. Ada tim lawyer saya juga. Kami bertiga," tambah Anita.

Setelah presentasi di hadapan Prasetijo dan Tommy, Anita juga mempresentasikan persoalan Djoko Tjandra ke Sekretaris NCB-Interpol Polri, ketika itu, Brigjen Nugroho Slamet Wibowo beberapa waktu kemudian. Anita juga mengaku, presentasi kepada Nugroho tersebut atas saran dari Prasetijo.

"Pak Pras (Prasetijo) cuma bilang, 'bu Anita yang kemarin jelasin saja ke pak Bowo'," kata Anita menirukan pernyataan Prasetijo.

Dikonfirmasi ihwal hal tersebut, Prasetijo yang juga hadir sebagai saksi membantahnya. Prasetijo mengakui, Tommy yang saat itu berada di ruang kerjanya memberitahukan jika Anita ingin menemuinya, namun saat itu Prasetijo mengaku menolak presentasi Anita.

"Saya tolak, saya enggak mau, untuk apa enggak ada hubungan sama saya kok," kata Prasetijo.

Namun, Prasetijo mengakui saat itu sempat bertukar nomor telepon dengan Anita. Bahkan, ia mengklaim Anita sangat senang mendapatkan nomornya.

"Saksi tukar HP (nomer ponsel)?" tanya Hakim Muhammad Hamis.

"Dia senang kenalan sama saya. Saya jenderal, lawyer pasti senang," jawab Prasetijo.

photo
Action Plan Bebaskan Djoko Tjandra Lewat Fatwa MA - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement