Sabtu 28 Nov 2020 09:33 WIB

'Penanganan Terorisme Dalam Negeri Tanggung Jawab Polri'

Lemhanas mengatakan pelibatan TNI rawan tumpang tindih dengan lembaga lain.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo
Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo mengatakan, upaya kontraterorisme menggunakan kerangka penegakan hukum oleh kepolisian sudah berjalan cukup efektif. TNI hanya dapat membantu jika diperlukan dan itu pun berdasarkan keputusan politik negara oleh presiden dan DPR. 

"Sehingga jika terorisme terjadi di dalam negeri maka akan menjadi tanggung jawab fungsi penegakan hukum seperti Polri, dengan perbantuan TNI jika diperlukan berdasarkan keputusan politik atau sebagai akibat pernyataan keadaan darurat," ungkap Agus dalam keterangan pers yang Republika terima, Sabtu (28/11). 

Baca Juga

Sedangkan, kata dia, jika terorisme terjadi di luar yurisdiksi sistem hukum nasional maka itu menjadi tugas dan kewenangan TNI. Menurut dia, penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) pelibatan TNI dalam menangani terorisme rawan tumpang tindih peran dengan berbagai lembaga lain seperti BNPT, Polri, Densus 88, dan lainnya. 

Dia kemudian menyarankan agar rancangan Perpres itu disempurnakan terlebih dahulu. Menurut dia, saat ini kebutuhan yang mendesak untuk dilakukan adalah perlu diterbitkan UU perbantuan TNI kepada otoritas sipil di masa damai yang dapat mewadahi peran perbantuan TNI kepada pemerintah sipil. 

Dia juga menjelaskan, berdasarkan ketentuan konstitusi, pengerahan TNI dalam kontraterorisme harus berdasarkan perintah presiden yang sesusai dengan peraturan perundang-undangan. TNI dapat dikerahkan hanya dengan berdasarkan perintah presiden melalui pernyataan publik yang terbuka untuk kontrol publik dan DPR dan tidak ada yang dilaksanakan secara otomatis. 

"Panglima TNI hanya dapat menentukan bagaimana cara melaksanakan tugas dan samasekali tidak bisa membuat keputusan politik tentang apa yang harus diperbuat TNI sebagai awal penugasan," jelas dia. 

Agus menuturkan, masih banyak kalangan yang terbelenggu dalam tatanan dwifungsi ABRI. Banyak juga kalangan yang berharap pelibatan TNI dalam kontraterorisme tanpa memahami dasar-dasar peraturan perundangan-undangan. Ditambah lagi dengan masih adanya kalangan TNI yang menganggap doktrin TNI unik. 

"Dengan perannya sebagai penjaga bangsa sehingga tatanan dwifungsi ABRI masih dianggap berlaku. Ini disebabkan juga kontrol demokratik dari otoritas sipil yang masih lemah untuk menegakkan tatanan dari kemampuan berdasarkan kaidah demokrasi," kata dia. 

Semua itu ia sampaikan saat menjadi pembicara utama dalam webinar "Raperpres Pelibatan TNI dalam Kontraterorisme" yang digelar oleh UPN Veteran Jawa Timur dengan Marapi Consulting & Advisory. Pada saat yang sama, peneliti Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies, Fitriani, mengatakan, rancangan perpres itu harus ditinjau ulang. 

Dia juga memberikan tiga kritik terhadap rancangan Perpres tersebut. Pertama, ruang lingkup dan persyaratan pelibatan TNI dalam kontraterorisme harus jelas. Kedua, harus ada koordinasi operasional dan doktrinal antara TNI dengan unsur kontraterorisme lain. Ketiga, anggaran operasi hanya diperbolehkan dari APBN.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement