Sabtu 28 Nov 2020 06:00 WIB

Penjelasan Lima Fatwa yang Dikeluarkan MUI

MUI mengeluarkan lima fatwa.

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Muhammad Hafil
Penjelasan Lima Fatwa yang Dikeluarkan MUI. Foto: Wakil Presiden Republik Indonesia yang juga Ketua Umum MUI periode 2015-2020 Maruf Amin (ketiga kanan), Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi (ketiga kiri), Ketua Umum MUI terpilih periode 2020-2025 Miftachul Akhyar (kedua kanan) berfoto bersama perwakilan Organisai Masyarakat Islam  usai penutupan Musyawarah Nasional X MUI di Jakarta, Jumat (27/11). Miftachul Akhyar terpilih sebagai ketua umum MUI periode 2020-2025 menggantikan Ma’ruf Amin setelah ditetapkan secara mufakat oleh tim formatur Munas X dan MUI. Republika/Thoudy Badai
Foto: Republika/Thoudy Badai
Penjelasan Lima Fatwa yang Dikeluarkan MUI. Foto: Wakil Presiden Republik Indonesia yang juga Ketua Umum MUI periode 2015-2020 Maruf Amin (ketiga kanan), Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Saadi (ketiga kiri), Ketua Umum MUI terpilih periode 2020-2025 Miftachul Akhyar (kedua kanan) berfoto bersama perwakilan Organisai Masyarakat Islam usai penutupan Musyawarah Nasional X MUI di Jakarta, Jumat (27/11). Miftachul Akhyar terpilih sebagai ketua umum MUI periode 2020-2025 menggantikan Ma’ruf Amin setelah ditetapkan secara mufakat oleh tim formatur Munas X dan MUI. Republika/Thoudy Badai

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Majelis Ulama Indonesia (MUI)

menerbitkan lima fatwa dari hasil Musyawarah Nasional (Munas) ke-10 yang digelar sejak 25 hingga 26 November 2020. Salah satunya penggunaan bahan produksi obat dan vaksin di masyarakat.

Baca Juga

"Terdapat lima fatwa dan ketentuan hukumnya. Hal ini ditetapkan pada 26 November 2020," kata Juru Bicara Sidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Jumat (27/11).

Kemudian, ia menjelaskan pertama terkait fatwa tentang penggunaan human diploid cell untuk bahan produksi obat dan vaksin. Adapun ketentuan hukumnya seperti pada dasarnya penggunaan sel yang berasal dari bagian tubuh manusia untuk bahan obat atau vaksin hukumnya haram, karena bagian tubuh manusia (juz’u al-insan) wajib dimuliakan.

Lalu, dalam hal ini terjadi kondisi kedaruratan (dharurah syar’iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah), penggunaan human diploid cell untuk bahan obat atau vaksin hukumnya boleh, dengan syarat, tidak ada bahan lain yang halal dan memiliki khasiat atau fungsi serupa dengan bahan yang berasal dari sel tubuh manusia.

Obat atau vaksin tersebut hanya diperuntukkan untuk pengobatan penyakit berat yang jika tanpa obat atau vaksin tersebut maka berdasarkan keterangan ahli yang kompeten dan terpercaya diyakini akan timbul dampak kemudaratan lebih besar.

"Tidak ada bahaya (dharar) yang mempengaruhi kehidupan atau kelangsungan hidup orang yang diambil sel tubuhnya untuk bahan pembuatan obat atau vaksin. Apabila sel tubuh manusia yang dijadikan bahan obat atau vaksin bersumber dari embrio maka harus didapatkan melalui cara yang dibolehkan secara syar’i," kata dia.

Ia mencotohkan hal tersebut seperti berasal dari janin yang keguguran spontan atau digugurkan atas indikasi medis atau didapatkan dari sisa embrio yang tidak dipakai pada inseminasi buatan atau IVF (in vitro fertilization).

Lalu, pengambilan sel tubuh manusia harus mendapatkan izin dari pendonor. Dalam hal sel tubuh berasal dari orang yang sudah meninggal harus mendapatkan izin dari keluarganya.

Sel tubuh manusia yang menjadi bahan pembuatan obat atau vaksin diperoleh dengan niat tolong-menolong (ta’awun), tidak dengan cara komersial. Namun, kebolehan pemaanfaatannya hanya sebatas untuk mengatasi kondisi kedaruratan (dharurah syar’iyah) atau kebutuhan mendesak (hajah syar’iyah).

 

Kedua ada fatwa tentang pendaftaran haji saat usai dini. Adapun ketentuan hukumnya yaitu pendaftaran haji pada usia dini untuk mendapatkan porsi haji hukumnya boleh (mubah) dengan syarat sebagai berikut yaitu uang yang digunakan untuk mendaftar haji diperoleh  dengan cara yang halal, tidak mengganggu biaya-biaya lain yang wajib dipenuhi, tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak menghambat pelaksanaan haji bagi mukallaf yang sudah memiliki kewajiban ‘ala al-faur dan sudah mendaftar.

 

"Hukum pendaftaran haji pada usia dini yang tidak memenuhi syarat yang disebut pada pendaftaran haji usia dini adalah haram," kata dia.

 

Ketiga tentang fatwa tentang pemakaian masker bagi orang yang sedang ihram. Adapun ketentuan hukumnya yaitu memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya haram karena termasuk pelanggaran terhadap larangan ihram (mahdzurat al-ihram) sedangkan memakai masker bagi laki-laki yang berihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah).

Dalam keadaan darurat atau kebutuhan mendesak (al-hajah al-syar’iyah), memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah), dalam hal seorang perempuan yang memakai masker pada kondisi sebagimana pada angka dua terdapat perbedaan pendapat yaitu wajib membayar fidyah dan tidak wajib membayar fidyah.

 

Lalu, keadaan darurat atau kebutuhan mendesak (al-hajah al-syar’iyah) yang antara lain, adanya penularan penyakit yang berbahaya, adanya cuaca ekstrim/buruk dan adanya ancaman kesehatan yang apabila tidak memakai masker dapat memperburuk kondisi kesehatan.

 

Keempat ada fatwa tentang pembayaran setoran awal haji dengan utang dan pembiayaan. Adapun ketentuan hukumnya yaitu pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah) dengan syarat yaitu bukan utang ribawi dan orang yang berutang mempunyai kemampuan untuk melunasi utang, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.

 

Pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil pembiayaan dari lembaga keuangan, hukumnya boleh dengan syarat, menggunakan akad syariah, tidak dilakukan di Lembaga Keuangan Konvensional dan nasabah mampu untuk melunasi, antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup.

"Pembayaran setoran awal haji dengan dana utang dan pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan adalah haram," kata dia.

 

Kelima ada fatwa tentang penundaan pendaftaran haji bagi yang sudah mampu. Adapun ketentuan hukumnya yaitu ibadah haji merupakan kewajiban ‘ala al-tarakhi bagi orang muslim yang sudah istitha’ah. Namun, demikian disunnahkan baginya untuk menyegerakan ibadah haji.

 

Kewajiban haji bagi orang yang mampu (istitha’ah) menjadi wajib ‘ala al-faur jika sudah berusia 60 tahun ke atas, khawatir berkurang atau habisnya biaya pelaksanaan haji atau qadla’ atas haji yang batal.

 

Mendaftar haji bagi orang yang memenuhi kriteria kewajiban haji bagi orang mampu, hukumnya wajib. Menunda-nunda pendaftaran haji bagi orang yang memenuhi kriteria kewajiban haji bagi orang mampu hukumnya haram.

 

"Orang yang sudah istitha’ah tetapi tidak melaksanakan haji sampai wafat wajib dibadalhajikan dan orang yang sudah istitha’ah dan sudah mendaftar haji tetapi wafat sebelum melaksanakan haji, sudah mendapatkan pahala haji dan wajib dibadalhajikan," kata dia.

 

Haura Hafizhah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement