Rabu 25 Nov 2020 18:49 WIB

LPS: Kebijakan Fiskal Mulai Dorong Laju Konsumsi Masyarakat

Uang beredar terus membaik dari minus 16 persen menjadi minus 3 persen.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan laju uang beredar secara fisik (M0) mulai membaik. Tercatat laju uang beredar secara fisik berada posisi minus enam persen per September 2020.
Foto: Antara/Kornelis Kaha
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan laju uang beredar secara fisik (M0) mulai membaik. Tercatat laju uang beredar secara fisik berada posisi minus enam persen per September 2020.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan laju uang beredar secara fisik (M0) mulai membaik. Tercatat laju uang beredar secara fisik berada posisi minus enam persen per September 2020.

Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan kebijakan moneter sudah membantu sistem finansial uang beredar, sehingga mendorong terciptanya konsumsi masyarakat.

“Pertumbuhan uang beredar yang abu-abu itu tadinya negatif 16 persen lalu membaik minus 15 persen poin sekian, kemudian menjadi minus sembilan sekarang sudah mendekati minus tiga persen dan menuju ke arah positif,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (25/11).

Menurutnya laju uang beredar sangat dipengaruhi oleh konsumsi masyarakat. Persoalannya, saat ini konsumsi masyarakat terbilang menurun, sehingga tidak bisa mendorong pertumbuhan ekonomi.

Tak hanya laju uang beredar yang mulai membaik, namun laju dana pihak ketiga (DPK) perbankan juga semakin meningkat. Berdasarkan data LPS, per September 2020 pertumbuhan DPK perbankan sebesar 12,88 persen (yoy).

“Kedua data tersebut belum mendukung penyaluran kredit perbankan yang masih lemah pertumbuhan 0,12 persen pada September 2020. Oleh karena itu, kolaborasi amatlah penting guna menjaga keberlangsungan pertumbuhan ekonomi nasional,” ucapnya.

Sementara Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menambahkan penciptaan lapangan kerja sektor sekunder menjadi kunci pemulihan ekonomi nasional di tengah masih kuatnya sektor jasa keuangan.

“Likuiditas perbankan yang sangat kuat, sektor sekunder juga menjadi salah satu leading indikator karena memiliki multiplier effect yang besar dalam pemulihan dunia usaha,” ucapnya.

Menurutnya suku bunga kredit sudah berangsur turun seiring dengan langkah Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan pada level 3,75 persen. Namun diakuinya, penyaluran kredit kurang cepat, sehingga belum bisa mendongkrak permintaan kebutuhan sekunder masyarakat, pertumbuhan kredit tercatat 0,12 persen (yoy) pada September 2020.

“Perbankan dan pasar modal siap, suku bunga tinggal masalah waktu. Tapi, suku bunga kredit bukan masalah utama, bagaimana demand produk yang di-generate oleh korporat tadi bisa ada, itu lebih penting. Nah, untuk pengungkitnya orang yang bekerja tadi bisa jadi sumber pertumbuhan di sektor sekunder,” ucapnya.

Ke depan, wimboh menyebut likuiditas industri perbankan tidak terlalu mengkhawatirkan. Sebab sejauh ini likuiditas masih mencukupi, hal itu terlihat dari pertumbuhan DPK perbankan masih tumbuh 12,88 persen pada September 2020.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement