Rabu 25 Nov 2020 17:17 WIB

Pemimpin Unjuk Rasa Thailand Hadapi Tuntutan Lese Majeste

Lese majeste merupakan aturan yang melarang mencemarkan anggota kerajaan Thailand

Rep: Lintar Satria/ Red: Nur Aini
 Polisi menggunakan meriam air untuk membubarkan demonstran pro-demokrasi di dekat Parlemen di Bangkok, Selasa, 17 November 2020. Medan pertempuran politik Thailand bergeser ke Parlemen negara pada Selasa, di mana anggota parlemen sedang mempertimbangkan proposal untuk mengubah konstitusi negara, salah satu tuntutan inti. dari gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa.
Foto: AP/Sakchai Lalit
Polisi menggunakan meriam air untuk membubarkan demonstran pro-demokrasi di dekat Parlemen di Bangkok, Selasa, 17 November 2020. Medan pertempuran politik Thailand bergeser ke Parlemen negara pada Selasa, di mana anggota parlemen sedang mempertimbangkan proposal untuk mengubah konstitusi negara, salah satu tuntutan inti. dari gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pihak berwenang Thailand meningkatkan tuntutan hukum terhadap mahasiswa yang memimpin protes pro-demokrasi. Polisi mendakwa 12 orang di antaranya dengan undang-undang pencemaran nama baik kerajaan Thailand.

Berita mengenai dakwaan itu disampaikan saat pengunjuk rasa berencana kembali menggelar demonstrasi di ibu kota Bangkok. Mahasiswa menuntut Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha dan pemerintahannya mundur, amandemen konstitusi untuk memperluas demokrasi dan mereformasi kerajaan agar lebih bertanggung jawab.

Baca Juga

Pada Selasa (24/11), polisi mengeluarkan surat panggilan pada 12 pemimpin unjuk rasa untuk menjawab dakwaan undang-undang lese majeste, hukum yang melarang masyarakat mencemarkan atau menistakan anggota kerajaan Thailand. Mereka yang melanggar undang-undang dapat dihukum hingga 15 tahun penjara.

Undang-undang tersebut kontroversial, sebab siapapun, tidak hanya anggota kerajaan atau pihak berwenang, yang dapat mengajukan gugatan. Sehingga di masa lalu undang-undang itu kerap dijadikan senjata politik. Tetapi sudah tidak pernah lagi dipakai dalam tiga tahun terakhir setelah Raja Maha Vajiralongkorn memberitahu pemerintah ia tidak ingin lagi melihat undang-undang tersebut digunakan. Sejak saat itu raja tidak pernah mengungkapkan komentarnya ke publik mengenai undang-undang itu. 

Lembaga bantuan hukum Thai Lawyers for Human Rights mengatakan 12 orang yang didakwa termasuk pemimpin unjuk rasa dikenal berani menyampaikan kritikan mereka ke kerajaan secara terbuka. Banyak pengunjuk rasa yang dipimpin mahasiswa menilai kekuasaan kerajaan Thailand terlalu besar.

Namun mereka mendapat perlawanan keras dari loyalis kerajaan. Mereka yang menganggap institusi kerajaan yang menjadi landasan identitas nasional tak boleh diganggu gugat. Salah satu dari 12 pemimpin unjuk rasa yang didakwa Parit “Penguin” Chiwarak merespons dakwaan tersebut di Twitter.

"Saya sudah tidak takut lagi, langit-langit (tuntutan kami) dihancurkan, sekarang sudah tidak ada lagi yang dapat menghentikan kami," cicitnya.

Pada Selasa malam penyelenggara unjuk rasa memindahkan tempat demonstrasi pada Rabu (25/11) ini yang fokus pada kerajaan. Sebelumnya, demonstran ingin menggelar protes di Biro Properti Kerajaan yang mengelola kekayaan raja. Tapi tempat unjuk rasa pindah ke kantor Siam Commercial Bank, perusahaan publik di mana raja adalah pemegang saham terbesar.

Penyelenggara mengumumkan pindahnya lokasi unjuk rasa itu dilakukan untuk menghindari bentrok dengan polisi dan loyalis kerajaan. Mereka khawatir bentrokan dapat memicu pemerintah memberlakukan jam malam atau kudeta militer.

Dalam unjuk rasa terakhir yang digelar di depan gedung parlemen terjadi kerusuhan dan kekerasan. Polisi mengerahkan watercanon dan menembakkan gas air mata ke pengunjuk rasa yang masuk ke komplek gedung Parlemen. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement