Rabu 25 Nov 2020 16:11 WIB

Spesies Ikan di Kali Brantas Terancam Punah

Pencemaran limbah domestik juga dapat berakibat buruk terhadap keberadaan ikan asli.

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Aktivis lingkungan hidup dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) membentangkan poster saat aksi evakuasi popok di anakan sungai Brantas, Jawa Timur. Tim peneliti Ecoton menemukan sejumlah polutan berbahaya di sungai brantas hasil dari pembuangan popok bayi yakni kandungan klorin dan mikroplastik di atas ambang batas normal yang dapat merusak ekosistem sekaligus berbahaya bagi kesehatan manusia.
Foto: ANTARA/Prasetia Fauzani
Aktivis lingkungan hidup dari Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) membentangkan poster saat aksi evakuasi popok di anakan sungai Brantas, Jawa Timur. Tim peneliti Ecoton menemukan sejumlah polutan berbahaya di sungai brantas hasil dari pembuangan popok bayi yakni kandungan klorin dan mikroplastik di atas ambang batas normal yang dapat merusak ekosistem sekaligus berbahaya bagi kesehatan manusia.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) menyebut spesies ikan di Kali Brantas terancam mengalami kepunahan. Hal ini diungkapkan berdasarkan temuan dan penelitian dari sejumlah ahli.

Peneliti Senior dari Ecoton Indonesia, Andreas Agus Kristanto Nugroho mengatakan, Kali Brantas dikenal mempunyai keanekaragaman hayati tinggi di masa lampau. Beberapa di antaranya seperti ikan palung, ikan sili dan sebagainya. Ada pula ikan jendil, patin, rengkik dan keting yang sangat disukai oleh masyarakat di sekitar Kali Brantas.

"Ikan sili kalau asli Lamongan dan cari nasi khas Lamongan, nasi boranan, dulu saya masih kecil pasti ada ikan sili. Kalau sekarang? Adanya ikan asin, lele, telur dan lain-lain. Ikan sili tidak ditawarkan, karena memang sudah jarang," kata Andreas dalam series diskusi daring yang diselenggarakan Ecoton Indonesia.

Di penelitian para ahli sebelumnya, Kali Brantas tercatat memiliki 87 jenis spesies ikan asli pada 1962. Kemudian berkurang menjadi 50 jenis ikan pada 1998. Selang 13 tahun berikutnya, hanya tersisa 30 jenis ikan di Kali Brantas.

"Jadi kita hampir kehilangan 50 persen jenis ikan di sungai," jelas Andreas.

Menurut Andreas, terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan ikan di Kali Brantas punah. Pertama, adanya tangkapan ikan secara berlebihan oleh masyarakat setempat. Ditambah lagi, cara penangkapannya menggunakan alat tidak ramah lingkungan seperti setrum dan racun. 

Faktor selanjutnya, yakni kerusakan habitat dan konservasi pengalihan lahan. Lalu masuknya spesies asing, baik secara alami maupun sengaja di perairan sungai. Keberadaan ikan asing invansif dapat menurunkan spesies lokal, merusak ekosistem, bahkan membahayakan keselamatan manusia.

Pencemaran limbah domestik juga dapat berakibat buruk terhadap keberadaan ikan asli di Kali Brantas. Fragmentasi sungai oleh bendungan juga ikut memberikan dampak terhadap hal tersebut. "Ini kalau di Indonesia belum familiar tentang jalur ikan. Maka, sungainya seperti dipotong-potong, sehingga ikan yang seharusnya bisa ke atas silaturahim ke tetangga, akhirnya tidak bisa karena terpotong bendungan," ucap dia.

Di kesempatan itu, Andreas juga mengingatkan masyarakat luas tentang fenomena ikan munggut. Fenomena ini merupakan kejadian ikan kekurangan oksigen karena tingginya beban pencemaran sungai. Salah satu penyebab pencemaran air berasal dari pembuangan limbah, baik domestik maupun industri.

Menurut Andreas, tingkat pencemaran limbah cair di Kali Brantas sudah cukup tinggi. Berdasarkan data dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jawa Timur, limbah cair yang dibuang di Kali Brantas mencapai 150 ton per hari. Komposisinya sekitar 60 persen berasal dari limbah domestik dan 40 persen limbah industri. 

Melihat fakta demikian, Ecoton mendorong pemerintah segera menindaklanjuti permasalahan ikan di Kali Brantas. Dalam hal ini terutama permasalahan limbah yang telah mencemari perairan Kali Brantas. Meski Kali Brantas masuk dalam kewenangan pusat, Andreas berharap, pemerintah daerah tidak lepas tanggung jawab mengenai hal tersebut. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement