Rabu 25 Nov 2020 14:47 WIB

Thailand Hidupkan Kembali UU Larang Kritik Kerajaan

UU pelarangan kritik dihidupkan saat Thailand menghadapi unjuk rasa

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
 Polisi menggunakan meriam air untuk membubarkan demonstran pro-demokrasi di dekat Parlemen di Bangkok, Selasa, 17 November 2020. Medan pertempuran politik Thailand bergeser ke Parlemen negara pada Selasa, di mana anggota parlemen sedang mempertimbangkan proposal untuk mengubah konstitusi negara, salah satu tuntutan inti. dari gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa.
Foto: AP/Sakchai Lalit
Polisi menggunakan meriam air untuk membubarkan demonstran pro-demokrasi di dekat Parlemen di Bangkok, Selasa, 17 November 2020. Medan pertempuran politik Thailand bergeser ke Parlemen negara pada Selasa, di mana anggota parlemen sedang mempertimbangkan proposal untuk mengubah konstitusi negara, salah satu tuntutan inti. dari gerakan pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa.

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Thailand telah menghidupkan kembali undang-undang (UU) kontroversial yang melarang kritik terhadap keluarga kerajaan. Hal itu dilakukan saat negara tersebut menghadapi gelombang demonstrasi anti-pemerintah selama beberapa bulan terakhir. 

UU lèse-majestè Thailand, yang melarang penghinaan dalam bentuk apapun terhadap kerajaan, termasuk paling ketat di dunia penerapannya. Pemberlakuan kembali lèse-majestè dilakukan menjelang rencana demonstrasi di Crown Property Bureau (CPB), Bangkok, pada Rabu (25/11). CPB adalah sebuah lembaga yang mengontrol kekayaan kerajaan atas nama monarki. 

Baca Juga

Dilaporkan laman BBC, beberapa aktivis telah dipanggil untuk menghadapi dakwaan berdasarkan lèse-majestè. Ganjaran hukuman bisa mencapai 15 tahun penjara untuk setiap dakwaan. Itu adalah pertama kalinya dalam sekitar tiga tahun tuntutan diajukan. 

Thailand telah diguncang gelombang demonstrasi selama berbulan-bulan. Mereka menyerukan reformasi konstitusi dan mendesak pencopotan Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha. Dia dituding telah mencurangi proses pemilu tahun lalu dengan ambisi tetap berkuasa. Mantan jenderal yang menjadi tokoh utama dalam kudeta tahun 2014 itu telah membantah tudingan tersebut. 

Pada akhir Oktober lalu, Prayut Chan-o-cha menolak seruan partai-partai oposisi untuk mundur dari jabatannya. "Saya tidak akan lari dari masalah. Saya tidak akan meninggalkan tugas saya dengan mengundurkan diri pada saat negara memiliki masalah," kata Prayut saat menghadiri sebuah sesi parlemen untuk membahas gelombang demonstrasi pada 27 Oktober lalu, dikutip laman Channel News Asia. 

Prayut mengungkapkan dia telah setuju membentuk komite untuk mengkaji permasalahan yang disorot massa. Tapi Prayut mengaku tak tahu harus membahas atau membicarakan hal ini dengan siapa. "Karena tidak ada pemimpin. Mereka semua adalah pemimpin," ujarnya mengacu pada para pengunjuk rasa.

Dalam aksinya, massa pengunjuk rasa turut menyerang pihak kerajaan Thailand. Mereka menyebut pihak kerajaan berpolitik dan telah memungkinkan adanya dominasi militer selama bertahun-tahun. Gelombang demonstrasi pada akhirnya turut menyuarakan tentang reformasi monarki.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement