Rabu 25 Nov 2020 05:15 WIB

Cerita Relawan Berlatar Perawat yang Jadi Sopir Ambulans

Meski bekerja sampai larut, Ika selaku relawan tidak merasa lelah berat menjalaninya.

Relawan sopir ambulans perempuan pertama di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RS UI), Kota Depok, Jawa Barat.
Foto: Tangkapan layar
Relawan sopir ambulans perempuan pertama di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RS UI), Kota Depok, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra

Ika Dewi Maharani (26 tahun) memutar kontak mobil ambulans dan melihat indikator bahan bakar. Sambil mengenakan alat pelindung diri (APD) berwarna putih, ia menunggu mobil dipanaskan untuk beberapa menit. Setelah kendaraan dirasa siap digunakan dan bahan bakar aman, ia bergegas mengemudikan ambulans.

Setiap harinya, Ika bertugas menjemput pasien positif Covid-19 yang memiliki gejala ringan atau orang tanpa gejala (OTG) di wilayah Depok dan sekitarnya untuk dibawa ke Rumah Sakit Universitas Indonesia (RS UI), Kota Depok, Jawa Barat. Sudah tujuh bulan ini, Ika menjalani aktivitas sebagai relawan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19.

Selama itu pula, ia bertugas sebagai sopir ambulans yang mengangkut pasien positif untuk dirawat di RS UI, yang menjadi salah satu RS tujuan penanganan Covid-19. "Kita waktu awal absen, persiapkan mobil. Kita perawat dan driver. Dikasih tanggung jawab juga isi freon, aki, sampai kayak gitu, (jadi) driver dan teknisi juga," ucap Ika bercerita di acara 'Memperingati Hari Pahlawan dengan Pahlawan Kemanusiaan Covid-19' di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Ika merupakan relawan yang bergabung sejak awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia. Kala itu, ia baru selesai menjalani ujian skripsi, dan tinggal menunggu waktu diwisuda di sebuah kampus di Kota Surabaya, Jawa Timur. Mendengar ada lowongan menjadi relawan Covid-19, Ika yang memiliki latar belakang sebagai perawat, mencoba mendaftarkan diri untuk mendapatkan pengalaman.

Tujuan Ika mendaftar, yaitu ingin mendapat pengalaman sekaligus mempraktikkan ilmu yang didapatnya selama kuliah. "Saya melihat Jakarta terdapat pandemi, kalau kita tak tangani dari pusatnya ini akan menyebar. Saya mendaftar di relawan karena ada pengalaman saya pernah di rumah sakit," ucap Ika.

Ika berasal dari Kabupaten Halmahera, Provinsi Maluku Utara dan tergabung dalam sebuah asosiasi perawat Himpunan Perawat Gawat Darurat dan Bencana Indonesia (Hipgabi). Berbekal modal itulah, ia ingin terlibat menjadi relawan penanganan pasien Covid-19.

Hanya saja, oleh panitia seleksi, Ika ditugaskan bukan sebagai perawat, melainkan menjadi sopir. Karena sudah terlanjur mendaftar, ia menerima saja penugasan yang diberikan panitia seleksi. Apalagi, ia sejak awal meniatkan diri ingin membantu sesama pasien Covid-19 agar bisa sembuh.

"Kalau di ambulans ini pengalaman pertama bagi saya. Saya tak menyangka sebagai perawat evakuasi pasien dan jadi driver, jadi double. Namun itu menurut saya itu tantangan, saya harus bisa," kata Ika mengingat momen meyakinkan dirinya kala itu.

Ketika mendaftar sebagai relawan, Ika mengaku tidak melapor kepada orang tuanya yang kini tinggal di Kota Ternate. Dia juga memiliki anak yang ditinggal di ibu kota Maluku Utara tersebut selama kuliah di Surabaya. Orang tua tahunya Ika akan pulang kampung menjadi perawat, setelah lulus dan diwisuda. Ternyata, datangnya pandemi dan adanya lowongan menjadi relawan mengubah jalan hidup Ika.

Semula, orang tuanya keberatan dengan pilihan yang ditempuh anaknya. Sang ibu khawatir putrinya malah tertular penyakit yang baru muncul pada akhir 2019 tersebut. Di sisi lain, Ika tetap berusaha mempertahankan keputusannya mendaftar sebagai relawan.

Dia menjelaskan jika menjadi relawan itu tidak membahayakan diri sendiri, asalkan berpegang teguh kepada protokol kesehatan. Lagi pula, kata Ika kepada ibunya, ia selalu memakai APD selama bekerja, sehingga tidak perlu takut tertular virus corona.

"Saya mau tak mau harus berangkat (ke Jakarta dan ditugaskan di Depok), besok berangkat, saya baru izin orang tua. Awalnya mama tak kasih izin, aku kasih penjelasan kita pakai APD dan ada SOP (standar operasional prosedur), saya ini perawat harus melayani tak boleh pilih-pilih pasien," kata Ika mencoba melunakkan hati orang tuanya.

Ika menuturkan, mamanya luluh ketika ia menjelaskan sejak semua kuliah sebagai perawat memang harus terlibat mengurusi pasien. Dia memang tidak pernah membayangkan pertama kali terjun praktik sebagai perawat malah berurusan dengan pasien positif Covid-19.

Dia pun merasa tidak masalah harus menangani pasien Covid-19, lantaran sumpah perawat tidak boleh membeda-bedakan pasien. Karena itu, ia akhirnya selalu lekas berangkat ketika ditugaskan menjemput pasien.

"Mau bagaimana pun pasiennya harus rawat kalau bukan kita siapa lagi? Aku sudah belajar sampai perguruan tinggi, jadi ingin terjun di ambulans, merasakan seperti apa. Kalau kita tak safety kita tak datang menangani pasien. Pertama safety diri sendiri, baru menyelamatkan orang lain," ujar Ika.

Bekerja sebagai sopir dan menghabiskan banyak waktu di lapangan jelas melelahkan. Ika mengakui, jalanan Depok pada jam-jam tertentu macet, lantaran orang seperti sudah beraktivitas normal membuat pengemudi ambulans harus banyak bersabar ketika menjemput atau mengantar pasien.

Dia pernah beberapa kali mengalami kejadian terjebak macet parah, sudah membunyikan sirine dan memencet tombol klakson, namun tetap tidak diberi jalan oleh pengendara lain. Pengalaman seperti itu malah membuatnya semakin terlatih untuk bersabar kala melayani pasien.

Selama bekerja sebagai sopir ambulans, ia mempunyai pengalaman paling berkesan ketika menjemput seorang ibu yang positif Covid-19. Ika menjelaskan, ketika sampai di lokasi, ia baru menyadari sang suami ibu tersebut sudah lebih dulu positif dan menghuni RS UI. Ketika ibu itu dites swab, hasilnya sama dengan suaminya, yaitu positif.

Otomatis ia juga harus menjalani isolasi mandiri di RS. Sayangnya, ketika Ika mengajak ibu tersebut ke RS, ia mendapati di dalam rumah itu ada anak kecil. Sang ibu tidak bisa meninggalkan anak tersebut yang berdasarkan hasil swab, negatif Covid-19.

Pun dengan tetangga tidak ada yang mau merawat anak itu, lantaran takut tertular Covid-19. Alhasil, ibu tersebut terpaksa membawa anaknya yang masih kecil untuk ikut sekaligus ke RS. Di situ, Ika merasa miris, karena balita tersebut bisa tertular Covid-19 lantaran harus berinteraksi dengan ibunya.

Tetapi, ia tidak bisa banyak berbuat membantu dan mendoakan sekeluarga itu bisa lekas sembuh dan sehat kembali. “Tapi ya itulah suka dukanya seru sih, ini baru pertama kali juga. Penyakit Covid ini kan luar biasa baru ini ada kita kaya seperti ini, semoga ini cepat berakhir,” ucap Ika.

Overtime

Menurut Ika, sebenarnya jam kerja relawan yang menjadi sopir dimulai pukul 09.00 WIB sampai pukul 21.00 WIB. Sopir juga hanya dibebankan menjemput pasien enam orang per hari. Faktanya, jumlah pasien yang dijemput dalam sehari bisa lebih banyak atau di kisaran delapan orang. Meski begitu, Ika tidak merasa lelah berat menjalaninya.

Lagi-lagi, ia ingat statusnya sebagai relawan sehingga menikmati pekerjaan, meski berlangsung hingga larut. Hanya saja, saat ini, Ika merasa terbantu lantaran partnernya bisa menyetir. Berbeda dengan relawan dulu yang tandem dengannya tidak bisa mengemudikan mobil.

Sehingga, ia dan rekan kini, bisa bergantian menyetir, sekaligus waktu di jalan digunakan untuk istirahat. Karena itu, Ika tidak merasa terbebani bekerja lebih berat, karena situasi memaksa semua relawan bekerja lebih keras.

"Apalagi pasien tambah banyak sekarang, kadang full, overtime sampai jam 12 malam baru sampai UI lagi. Kerja (mulai) jam 9 pagi, sampai jam 12 malem. Betul, ya kita enjoy, yang penting pasien dapat kita selamatkan, dan mendapatkan layanan terbaik itu harapan kami," kata Ika yang mendapat jatah tinggal di mes UI.

Dengan sistem kerja sehari on dan sehari off, ia memaksimalkan waktu libur untuk istirahat semaksimal mungkin dan memberi kabar kepada orang tua sekaligus berbincang dengan anaknya.

Meski begitu, ada duka pula yang harus dialaminya selama bekerja. Dia mengaku, sejak pandemi baru sekali pulang bertemu anaknya. Karena situasi Covid-19 semakin parah, ia harus menahan diri untuk tidak bertemu anaknya, supaya tidak berpotensi tertular Covid-19.

Langkah itu dilakukan Ika demi kebaikannya sendiri maupun anaknya. Karena itu, ia selalu menelpon anak semata wayangnya setiap hari demi mengobati rasa kangen.

"Hampir setengah tahun gak ketemu, anak bilang 'mama ayo ke Jawa'. Jangan dulu masih pandemi, bukan mama gak mau ke sana, kita kontak sama pasien. Kapan hari bilang gitu terus, yang penting berkabar dulu. Seorang ibu dan relawan begitu setiap harinya," kata Ika menjelaskan kondisinya yang terpisah dari anaknya.

Beban ganda

Di tempat terpisah, Co Founder Magdalene.co, Devi Asmarani, menuturkan, pandemi mengekspos ketimpangan gender di dunia medis. Dia mengutip data, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, walaupun sistem kesehatan didominasi perempuan, tenaga kesehatan perempuan masih dinomorduakan.

Tenaga kesehatan perempuan di seluruh dunia, sambung dia, dibayar 28 persen lebih rendah dibanding laki-laki. "Hanya sedikit perawat perempuan yang mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk menduduki posisi kepemimpinan dalam sistem kesehatan," ucap Devi dalam webinar bertajuk ‘Sorotan Pers Soal Hak Perempuan di Tengah Pandemi’ di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dia menilai, kaum perempuan menahan beban ganda selama pandemi, yaitu mereka bekerja yang juga berkeluarga. Di sini, perempuan masih bertanggung jawab mengasuh anak, mengurus rumah tangga, dan menemani anak bersekolah secara daring. Kondisi ini tentu tidak ideal, lantaran beban istri lebih besar daripada suami.

"Ini semua menjadi tanggung jawab perempuan. Suami dianggap sebagai pencari nafkah utama mendapat prioritas yang mengangkut pekerjaan," kata Devi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement